
Korupsi di PTPN V
Potret24.com, Pekanbaru – Dugaan korupsi Cetak Kebun Sawit di PTPN 5 yang dilaporkan SETARA Institute bersama Petani Sawit dari Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa M) Desa Pangkalan Baru, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, Selasa (25/05/21) lalu ke Gedung KPK. Jau sebelumnya kasus serupa telah terlebih dahulu dilaporkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati Riau).
Laporan kasus korupsi itu dilayangkan oleh Indonesia Law Enforcement Monitoring (Inlaning) pada 25 Juni 2020 lalu ke Kejati Riau. Anehnya, laporan yang dilayangkan hampir setahun lalu itu hingga kini belum ditangani Kejati Riau.
Hal tersebut diungkapkan Asisten Intelijen Kejati Riau Raharjo Budi Kisnanto
“Laporan sudah masuk tapi belum ditangani Pidsus (Pidana Khusus),” ungkap Raharjo kepada Beritariau.com, Jumat (28/05/2021) kemarin.
Namun, Raharjo tidak merinci alasan Pihak Pidsus Kejati belum menangani kasus tersebut.
Untuk diketahui, saat laporan itu dilayangkan Inlaning, Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Riau dijabat oleh Hilman Azazi yang kini dimutasi ke Kejati Nusa Tenggara Barat (NTB).
Sebelumnya diberitakan, SETARA Institut bersama Perwakilan Kopsa M melaporkan kasus dugaan korupsi ke KPK.
“Dugaan tindak pidana korupsi ini terjadi ketika PTPN 5 bekerjasama dengan Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa M) melakukan pembangunan kebun plasma dengan pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA) di tahun 2003,” sebut Juru Bicara SETARA Institut Disna Riantina, melalui siaran persnya yang diterima Beritariau.com, 25 Mei 2021 pekan lalu.
Disebutkan, kejadian berawal ketika pembangunan kebun pertama kali dilakukan dengan biaya uang negara (PTPN 5), kredit ke Bank Agroniaga dan kredit ke Bank Mandiri.
“Selain dugaan korupsi pembangunan kebun, PTPN 5 juga membiarkan asset negara 500 hektar (Ha). Tanah, yang seharusnya menjadi kebun inti milik negara, beralih kepemilikan secara melawan hukum,” ungkap Disna.
Mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan fakta peristiwa, maka SETARA Institut menyimpulkan bahwa, seharusnya negara melalui PTPN 5 memiliki kebun inti seluas 500 ha yang diperoleh dari Kopsa-M. Namun, lahan tersebut malah dibiarkan dan sengaja tidak dibukukan sebagai kekayaan negara sehingga beralih kepemilikan dan menimbulkan kerugian Negara.
“Akibat tindakan ini negara dirugikan kurang lebih Rp. 134.000.000.000, yang dihitung dari harga lahan yang beralih dan penghasilan kebun selama 14 tahun,” kata Disna.
Pembangunan kebun untuk pertama kalinya dibiayai oleh PTPN 5, yang jika mengacu pada nilai nominal yang tertuang dalam Surat Pengakuan Utang berdasarkan Surat dari Bank Agroniaga No. 53/Dir.01-OL/XI/2005 tertanggal 17 November 2005, adalah Rp. 13.272.960.400.
“Artinya PTPN 5 dengan menggunakan uang Negara senilai sebagaimana dimaksud membangun kebun terlebih dahulu, terbukti kebun dibangun dimulai tahun 2003 dan pengakuan utang terjadi di 2005,” sambungnya.
Dijelaskannya, dihitung sejak tahun 2003-2013 (sebelum di-take-over Bank Mandiri) pembangunan kebun plasma KKPA, telah menggunakan uang Negara dan/atau kekayaan Negara dalam bentuk modal awal pembangunan sebesar lebih kurang Rp. 79.000.000.000, maka, kerugian Negara yang ditimbulkan akibat tata kelola perkebunan yang tidak akuntabel ini, berjumlah Rp. 79.000.000.000.
Tak hanya itu, kerugian tersebut kembali membengkak menjadi Rp. 83.000.000.000 melalui proses take over oleh Bank Mandiri yang secara jelas menunjukkan adanya selisih sejumlah Rp. 4.000.000.000 tanpa kejelasan.
Kerugian ini akan mencapai puncaknya pada tahun 2023 mendatang ketika masa kredit berakhir dengan nilai kerugian Negara sebesar Rp. 182.980.600.000.
“Dengan demikian, pembiaran lahan dan kesengajaan tidak membukukan pemberian lahan kebun inti seluas 500 ha. oleh PTPN 5 dan tata kelola biaya pembangunan kebun yang tidak akuntabel menimbulkan total kerugian sebesar Rp. 134.000.000.000 + Rp. 182.980.600.000 = Rp. 316.980.600.000 (Tiga Ratus Enam Belas Milyar Sembilan Ratus Delapan Puluh Juta Enam Ratus Ribu Rupiah),” rincinya.
Tata kelola keuangan pinjaman dari bank yang masuk melalui rekening PTPN 5 adalah masuk dalam rumpun keuangan negara, yang semestinya penggunaan dan pertanggungjawabannya tunduk pada Hukum Keuangan Negara dan Hukum Perikatan terkait dasar pengajuan pinjaman dan peruntukannya.
Selain itu, lanjut Disna, PTPN 5 juga diduga melakukan penggelembungan biaya pengelolaan kebun yang tidak wajar, penggelembungan utang yang kemudian ditimpakan kepada petani anggota koperasi. Modus yang dijalankannya sangat mungkin melibatkan oknum-oknum di Bank Agroniaga dan Bank Mandiri Cabang Palembang.
Organisasi besutan Hendardi, yang juga mantan Anggota Panitia Seleksi Komisioner KPK ini, menelaah berapa tindakan melawan hukum yang menimbulkan kerugian negara sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 3 UU 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi tergambar pada unsur perbuatan hukum yang berupa kesengajaan dan kelalaian pada seluruh proses tata kelola biaya pembangunan kebun dan pemanfaatan lahan yang diserahkan oleh Kopsa-M.
Terkait laporan ke KPK ini, pihak PTPN 5 belum dapat memberikan komentar. Direktur Utama PTPN 5 Jatmiko Krisna Santosa, pekan lalu menyerahkan ke Sekretaris Perusahaan Bambang Budi Santoso, yang kemudian dikonfirmasi belum memberikan keterangan. Termasuk Kabag Humas Rizky yang tidak merespon sama sekali upaya konfirmasi yang dilayangkan Beritariau.com. (roy)