Praktisi Hukum: KPK Harus Ambil Alih Kasus SPPD Fiktif DPRD Riau

Praktisi Hukum: KPK Harus Ambil Alih Kasus SPPD Fiktif DPRD Riau

PEKANBARU – Praktisi hukum, Armilis Ramaini, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengambil alih penanganan kasus dugaan korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif di DPRD Riau senilai Rp162 miliar. Pasalnya, proses hukum yang ditangani oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau sejak tahun 2023 itu hingga kini dinilai tidak jelas dan berjalan sangat lambat.

“Sudah hampir dua tahun berjalan, tapi belum ada satu pun pelaku yang ditetapkan sebagai tersangka. Padahal kasus ini mendapat perhatian luas dari masyarakat Riau,” ujar Armilis, Kamis (10/4/2025).

Ia menyebutkan, ratusan orang dari Sekretariat DPRD Riau, termasuk pegawai, honorer, dan tenaga ahli telah diperiksa. Namun hingga kini, belum ada pimpinan maupun anggota DPRD Riau yang dimintai keterangan sebagai saksi, apalagi ditetapkan sebagai tersangka.

“Ini aneh. Padahal kasus ini terjadi pada era kepemimpinan Muflihun, dan nilainya sangat besar. Kenapa justru para pengambil kebijakan tidak disentuh hukum?” tegas Armilis kutip goriau.com.

Menurutnya, masyarakat sempat memberikan apresiasi tinggi saat Polda Riau melakukan penggeledahan di Kantor DPRD Riau, serta menyita dokumen dan alat bukti lainnya. Langkah itu sempat membangkitkan harapan publik akan pengungkapan kasus mega korupsi tersebut.

Namun, seiring waktu berjalan, harapan itu semakin pudar. Proses hukum yang lamban dan tidak transparan membuat masyarakat pesimistis bahkan apatis.

“Melihat proses yang lamban dan terkesan janggal ini, masyarakat mulai meragukan keseriusan Polda Riau. Maka saya kira, sudah saatnya KPK turun tangan dan mengambil alih kasus ini,” paparnya.

Armilis menilai, dengan reputasi dan kewenangan yang dimiliki, KPK lebih mampu mengusut kasus tersebut secara menyeluruh dan menindak tegas para pelakunya.

“Kasus ini melibatkan institusi DPRD dan dugaan korupsi dalam jumlah sangat besar. Ini bukan hanya soal kerugian negara, tapi juga soal kepercayaan publik terhadap penegakan hukum,” tutupnya. (***)