Potret24.com, Jakarta – Obat-obatan untuk isolasi mandiri (isoman) COVID-19 belakangan ini langka di pasaran. Beli di online shop pun harus kucing-kucingan. Sebab, nama-namanya banyak yang dipelesetkan agar tak di-take down oleh pengelola platform.
Salah seorang pasien isoman COVID-19 yang mengalami susahnya berburu obat untuk isoman COVID-19 adalah Zico. Pria 30 tahun yang tinggal di Kemayoran, Jakarta Pusat, ini mulai merasakan langkanya obat untuk isoman COVID-19 ketika mencarikan obat untuk kedua orang tuanya yang positif.
“Nyariin buat orang tua Avigan sama satu lagi yang antibiotiknya (Azithromycin). Mau nggak mau balik lagi rumah sakit, nunggu hampir 3 jam. Total di rumah sakit 6 jam: 3 jam berobat, 3 jam nunggu obat. Pulang dari sana, aku yang positif,” ujarnya kepada detikcom, Rabu (14/7/2021).
Pada 1 Juli 2021, Zico mengalami gejala linu-linu, anosmia, pusing, batuk, pilek, dan demam. Ia buru-buru melakukan tes swab PCR, namun hasil baru akan keluar sehari setelahnya. Demi penanganan cepat, Zico melakukan konsultasi online dengan dokter di layanan telemedicine.
“Aku swab, keadaan sudah nggak kuat. Paginya swab. Sambil nunggu hasil, malamnya kau konsultasi ke Halodoc. Aku bilang, kelihatannya sudah positif 70 persen. Dokter tanya gejala apa, dokter bilang ini mah sudah 90 persen positif,” ujarnya.
Dokter menyebut, obat-obat yang mungkin harus disiapkan antara lain Oseltamivir, Azithromycin, Cortidex, Fluimucil, dan Sanmol.
Namun Zico ditegaskan untuk tidak sembarang menyetok dan membeli obat COVID-19 apa pun sebelum hasil swab keluar.
Esok harinya, Zico dinyatakan positif COVID-19. Sayangnya, layanan telemedicine hanya bisa memberikan 2 dari 5 anjuran obat karena stok obat-obatan lainnya sudah habis. Zico terpaksa berburu obat secara online dari toko ke toko. Beruntung, Zico masih mendapatkan Azithromycin sisa pembelian orang tuanya.
“(Order obat) di-cancel (di telemedicine), tinggal ada Sanmol dan Cortidex. Berarti aku kurang Oseltamivir itu antivirusnya sama Fluimucil, itu kalau nggak salah obat untuk pernapasannya. Aku cari dari mulai K24, Kimia Farma, sampai Roxy sudah nggak ada semua,” ujarnya.
Layanan telemedicine memberikan sejumlah anjuran pengganti obat yang sulit ditemukan. Misalnya, Fluimucil bisa diganti dengan Nytex plus.
Ironisnya, obat-obatan yang langka di apotek ini malah beredar di ‘pasar gelap’ online shop dengan nama yang dipelesetkan. Selengkapnya di halaman berikut.
Di tengah kepusingan mencari obat, Zico mendapat informasi bahwa sejumlah penjual obat memelesetkan nama obat yang berhubungan dengan penyembuhan COVID-19. Dengan tujuan, obat-obatan tersebut bisa tetap dijual.
“Kemarin yang Azithromycin dapat di e-commerce. Ternyata ada kebijakan e-commerce itu nge-take down semua obat yang berhubungan sama COVID. Nggak tahu kalau sekarang. Kemarin aku cari Oseltamivir sudah pasti nggak ada,” kata Zico.
“Pedagangnya akalin. Azithromycin jadi ‘azithromecin’, dipeleset-pelesetin. Tapi dari Halodoc ini untungnya dia nyaranin penggantinya. Oseltamivir, kalau nggak ada, bisa belinya diganti obat lain,” ujar Zico.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam berbagai kesempatan telah menegaskan untuk tidak membeli obat sembarangan, termasuk di lapak-lapak online ilegal. Obat-obatan yang termasuk golongan obat keras hanya bisa dibeli di apotek berizin dan dengan resep dokter.
Sedangkan soal kelangkaan sejumlah obat untuk isoman COVID-19, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengingatkan untuk tidak nyetok. Obat-obat tersebut umumnya adalah obat keras, sehingga hanya bisa dibeli dengan resep dokter, untuk pasien yang benar-benar membutuhkan.
“Kalau kita stok itu (obat COVID) di rumah, saya mengerti karena itu memberikan rasa nyaman, tetapi itu mengurangi kans satu orang yang membutuhkan untuk mendapatkan akses dan dia bisa mati,” tegas Menkes Budi dalam rapat dengan Komisi IX DPR RI, Selasa (13/7/2021). (gr)