Kerbau Ngorok Mewabah di Kampar

Potret24.com- Buntut banyaknya kerbau yang mati mendadak akibat penyakit septicaemia epizootica (SE) atau kerbau ngorok di sejumlah desa di Kecamatan XIII Koto Kampar dan Koto Kampar Hulu, Dinas Perkebunan, Peternakan dan Kesehatan Hewan (Disbunakeswan) Kabupaten Kampar menghadirkan sejumlah petugas dari Laboratorium Balai Veteriner Bukittinggi, Sumatera Barat.

Demikian disampaikan Kepala Disbunakeswan Kampar Syahrizal melalui Kepala Bidang Kesehatan Hewan drh Deyus Herman  Rabu (7/9/2022) di ruang kerjanya.

Ia menyebutkan, tiga orang petugas dari Laboratorium Balai Venteriner Bukittinggi tiba di Kampar, Selasa (6/9/2022) dan langsung mengambil sampel terhadap sejumlah kerbau di Desa Gunung Bungsu dan Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto Kampar dan Desa Tanjung Kecamatan Koto Kampar Hulu. Selanjutnya pada hari ini Rabu (7/9/2022) dilanjutkan di Desa Salo, Kecamatan Salo.

“Begitu kita telepon mereka langsung bersedia datang. Mereka mengambil sampel dan menganalisa epidemiologi, melakukan pengobatan dan memberikan edukasi kepada masyarakat,” jelas Deyus dilansir dari cakaplah.

Terkait kepastian jumlah hewan ternak kerbau yang mati akibat penyakit ngorok sampai hari ini pihak Disbunakeswan Kampar belum bisa memastikan karena mereka masih dalam tahap memverifikasi data-data yang didapatkan di lapangan.

Sementara informasi dari masyarakat,  jumlah kerbau yang mati di tiga desa, yakni Desa Gunung Bungsu, Muara Takus dan Tanjung mencapai ratusan ekor.

Menurut Deyus, tidak semua kerbau yang mati akibat penyakit ngorok atau SE karena untuk memastikan penyakit itu mereka harus mendapatkan bukti yang valid. Jika mati karena penyakit ngorok, maka masyarakat harus menunjukkan buktinya, misalnya ada bangkainya dan di mana kuburannya.

Dikatakan, sebagian kerbau yang dihitung mati oleh masyarakat akibat sengaja disembelih paksa oleh pemiliknya karena panik jika kerbaunya tersebut terkena penyakit ngorok. Masyarakat juga terpengaruh oleh provokasi para pedagang kerbau sehingga mereka menyembelihnya atau menjualnya kepada pedagang.

Untuk sementara, kata Deyus, dari puluhan kerbau yang mati di Desa Gunung Bungsu sebagaimana dilaporkan masyarakat, Disbunakeswan Kampar baru mencatat hanya 8 ekor saja yang dipastikan menderita penyakit ngorok. “Yang dijual di Gunung Bungsu 100 ekor lebih,” terangnya.

Kemudian di Desa Tanjung, di salah satu padang yang ditinjau kemarin, terdapat populasi 69 ekor. Dari jumlah tersebut, yang telah dijual masyarakat sebanyak 25 ekor. Sementara yang mati dan dipotong paksa sekitar 40 ekor dan sisanya yang masih hidup tinggal 4 ekor. Sementara di Desa Muara Takus yang ditemukan mati sebanyak 4 ekor.

Dalam pendataan kerbau yang mati akibat  penyakit ngorok, petugas dari Disbunakeswan Kampar mendatanya dengan teliti termasuk mencantumkan nomor induk kependudukan (NIK) pemilik kerbau.

Langkah lainnya yang diambil pihaknya terang Deyus melakukan pengobatan terhadap kerbau yang sakit dan memberikan vaksin untuk kerbau yang dinilai masih sehat.  Hanya saja ketersediaan obat di Kampar terbatas. Untuk stok obat di dinas ini dengan anggaran sekitar Rp160 juta tidak mencukupi. Pihaknya telah meminta bantuan Pemerintah Provinsi Riau. Sebagian obat yang digunakan saat ini berasal dari bantuan Pemprov Riau.

Pihaknya juga menyampaikan edukasi kepada masyarakat bahwa kerbau yang sakit SE atau ngorok masih bisa diobati. “Karena itu karena bakteri, penularannya hanya antar hewan,” ulasnya.

Ia menambahkan, penyakit ini munculnya sekali setahun saat pergantian musim. Deyus mengatakan, daging hewan yang terkena penyakit ngorok ini aman untuk dikonsumsi.

Disbunakeswan juga mengalami kendala karena keterbatasan sumber daya manusia karena hanya ada 14 dokter hewan yang bertugas di Puskeswan. Tidak semua kecamatan ada petugas dokter hewan. Sebanyak enam orang bekerja di kantor Disbunakeswan, satu orang di klinik dan satu orang di rumah potong hewan.

Sementara itu, Penanggungjawab Puskeswan XIII KK drh Helmi Kristiana beberapa hari yang lalu mengatakan, jika masyarakat menemukan kecurigaan terhadap hewan ternaknya diminta agar menghubungi petugas di lapangan atau pihak pemerintah desa setempat dan meneruskan ke petugas Disbunakeswan.

Masyarakat juga diminta mengetahui solusi mengatasi penyakit hewan secara tradisional sebelum adanya penanganan dari petugas.  “Seperti kalau kembung misalnya, dikasih  minyak goreng campur air, lalu diminumkan. Biar keluar gasnya,” beber Helmi.

Ia mengimbau masyarakat jangan resah karena penyakit ngorok masih bisa diobati dan kalau ada kejadian kematian hewan ternak agar segera  dikubur atau dibakar dan jangan dibuang ke sungai

“Masyarakat juga harus rajin merawat ternaknya diantaranya dengan menjaga kebersihan kandang dan menjalankan program kesehatan vaksinasi,” imbuhnya.