Potret HukrimPotret Nasional

Ini Alasan MA Kini Setuju Pengetatan Remisi Koruptor Dihapus

2
×

Ini Alasan MA Kini Setuju Pengetatan Remisi Koruptor Dihapus

Sebarkan artikel ini
Jubir MA, Andi Samsan Nganro

Potret24.com.- Pada 2013, Mahkamah Agung (MA) setuju dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99/2012 atau yang dikenal dengan PP Pengetatan Remisi Koruptor. Namun kini MA tidak setuju dengan PP itu dan mendukung penghapusan aturan tersebut.

“Bahwa filosofi pemidanaan saat ini tidak lagi bertujuan memenjarakan pelaku tindak pidana supaya jera, akan tetapi perlu juga dilakukan usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang tujuannya sejalan dengan model restorative. Artinya, bagaimana mengembalikan warga binaan (pelaku kejahatan) kepada masyarakat agar tidak saja menjadi jera tetapi juga dapat berubah menjadi lebih baik (model hukum yang memperbaiki),” kata juru bicara MA, Andi Samsan Nganro, kepada detikcom, Senin (1/11/2021).

Pada 2013, MA dalam perkara nomor 51 P/HUM/2013 menolak menghapus PP 99 itu. Putusan idu diadili oleh 5 hakim agung, yaitu M Saleh, Yulius, Supandi, Artidjo Alkostar, dan Imam Soebchi.

Ini Pasal Pengetatan Remisi Koruptor yang Dibatalkan MA

Adapun pada 2021 ini, MA berbalik arah dan menghapus PP 99/2012. Putusan itu diketok oleh ketua majelis Supandi dengan anggota Yodi Martono dan Is Sudaryono

“Oleh karena itu, rumusan norma yang terdapat di dalam peraturan pelaksanaan UU Nomor 12/1995 harus mencerminkan semangat yang sejalan dengan filosofi pemasyarakatan yang memperkuat rehabilitasi dan reintegrasi sosial serta konsep restorative justice,” kata Andi membeberkan sikap MA yang bertolak belakang dengan putusan 2013.

Alasan lain, kata Wakil Ketua MA bidang Yudisial itu, persyaratan untuk mendapatkan remisi tidak boleh lagi dibatasi dan bersifat membeda-bedakan karena justru dapat menggeser konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial itu sendiri. Selain itu, perlu mempertimbangkan dampak terjadinya overcowded di lembaga pemasyarakatan (LP) saat ini.

“Bahwa LP dalam memberikan penilaian bagi setiap narapidana untuk dapat diberikan remisi, dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai warga binaan dan bukan masih dikaitkan dengan hal-hal lain sebelumnya,” beber Andi.

Berikut ini alasan MA pada 2013 yang mendukung PP 99/2012:

“…Bahwa tidak ternyata ada pertentangan antara Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 karena tujuan utama dari Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 adalah pembinaan narapidana. Pembinaan yang berbeda terhadap narapidana, merupakan konsekuensi logis adanya perbedaan karakter jenis kejahatan yang dilakukan narapidana, perbedaan sifat berbahayanya kejahatan yang dilakukan dan akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang dilakukan oleh masing-masing narapidana…”

“…bahwa keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 memperketat syarat pemberian Remisi agar pelaksanaannya mencerminkan nilai keadilan. Sehingga menunjukkan pembedaan antara pelaku tindak pidana yang biasa atau ringan dengan tindak pidana yang menelan biaya yang tinggi secara sosial, ekonomi, dan politik yang harus ditanggung oleh Negara dan/atau rakyat Indonesia. Dengan demikian, perbedaan perlakuan merupakan konsekuensi etis untuk memperlakukan secara adil sesuai dengan dampak kerusakan moral, sosial, ekonomi, keamanan, generasi muda, dan masa depan bangsa, dari kejahatan yang dilakukan masing-masing narapidana….”

“…korupsi di Indonesia telah merampas hak-hak dasar sosial dan ekonomi dari rakyat Indonesia dan berlangsung secara sistemik dan meluas sehingga menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes); …Dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 justru menunjukkan adanya konsistensi roh atau spirit penanggulangan kejahatan berat atau yang bersifat Extra Ordinary Crimes, agar kejahatan tersebut tidak sampai meruntuhkan tatanan sosial dalam masyarakat bangsa Indonesia….”

“…Menimbang, bahwa rejim Undang-Undang Pemasyarakatan adalah Rejim pelaksanaan pemidanaan dan pemasyarakatan/pembinaan. In casu, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 ternyata tidak menghilangkan hak-hak narapidana dalam rangka menjalani pidana yang dijatuhkan oleh Rejim Pengadilan, melainkan melaksanakan proses pelaksanaan pemidanaan tersebut secara efektif dan pembinaan yang tepat agar tujuan pemidanaan tersebut dapat tercapai maksimal. Oleh sebab itu, antara Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah objek Hak Uji Materiil tidak terdapat ‘irrelevansi ideolistik Hukum’ di dalamnya, dan tidak pula terdapat pelanggaran terhadap asas ‘Kewerdaan/ penjenjangan’ peraturan perundang-undangan….”

“…Menimbang, bahwa adanya pengaturan pengetatan pemberian hak tersebut terhadap kejahatan tertentu yang memang menjadi prioritas untuk diberantas adalah dapat diterima. Khusus terhadap pelaku tindak pidana korupsi, sebenarnya merupakan pihak yang berpotensi merusak kemungkinan warga negara untuk mendapatkan segala macam jaminan hak ekonomi, sosial dan budaya yang termuat dalam ketentuan Pasal 22 DUHAM. Hal tersebut sudah menjadi masalah serius yang telah mengancam stabilitas dan keamanan nasional dan internasional, melemahkan institusi dan nilai-nilai demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan dan penegakan hukum..”

“…Menimbang, bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tidak bertentangan dengan Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011; Menimbang, bahwa dalam pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 telah mendasarkan pada Pasal 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 karena keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 merupakan perintah Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 dan dalam pembentukannya telah memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundangundangan yang baik, yaitu: kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaan..” (detik)