18 April 2024
Potret24.com, Jakarta- Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan undisbursed loan atau kredit yang belum dicairkan oleh nasabah sebesar Rp 1.564 triliun naik 6,1% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Ekonom menyebut, kenaikan kredit yang masih menganggur di perbankan ini terjadi karena kondisi ekonomi yang belum kondusif. Pelaku usaha masih wait and see untuk menjalankan usahanya.

Lalu, bagaimana caranya agar kredit nganggur ini berkurang dan penyaluran kredit menjadi lancar?

Kredit yang belum dicairkan oleh nasabah tercatat Rp 1.564 triliun. Angka ini meningkat sekitar 6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya Rp 1.474 triliun.

Pada April 2019, kredit yang diberikan tercatat Rp 5.363 triliun. Ini artinya jumlah kredit yang masih nganggur di perbankan ada sekitar 29,4% dari keseluruhan kredit. Angka ini terdiri dari kredit yang sudah commited Rp 370 triliun dan yang uncommitted Rp 1.194 triliun.

Peneliti INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan tingginya undisbursed loan terjadi karena ada masalah pada permintaan dan penawaran di perekonomian Indonesia.

Menurut dia, dari sisi permintaan pelaku usaha belum berani untuk menambah pencairan kredit, meskipun sudah masuk commited.

“Ini karena risiko dunia usaha yang masih tinggi, pengusaha masih wait and see, karena tambah kredit untuk ekspor ada risiko perang dagang dan perlambatan harga komoditas,” kata Bhima dilansir detikFinance, Selasa (9/7/2019).

Dia mengungkapkan, bunga kredit yang mahal juga menyebabkan pengusaha enggan segera mencairkan permohonan kredit. Hal ini karena, tingginya bunga akan berkontribusi terhadap naiknya biaya pinjaman ke pengusaha tersebut.

“Selain itu, banyak juga yang menunggu susunan kabinet untuk memetakan kebijakan teknis yang berpengaruh ke dunia usaha dan investasi,” jelas dia.

Sementara itu dari sisi bank, ada faktor menghindari risiko kredit macet. Saat ini beberapa bank juga masih dalam tahap konsolidasi yakni melakukan aksi bersih-bersih kredit bermasalah yang masih ada di bank.

“Daripada terlalu agresif nanti, NPL naik dan laporan keuangan bank jadi kurang menarik,” jelas dia.

Adhinegara menjelaskan tingginya undisbursed loan pada perbankan mencerminkan lambatnya perekonomian nasional.

Hal ini karena permintaan pencairan kredit yang rendah, risiko dunia usaha yang masih tinggi. Pengusaha yang masih wait and see karena risiko luar maupun dalam negeri.

Suku bunga yang tinggi juga membuat pengusaha agak malas mencairkan kredit karena ini akan mempengaruhi biaya pinjaman.

Bank juga waspada dengan risiko rasio kredit bermasalah.

“Jadi bisa disimpulkan memang terjadi perlambatan ekonomi yang menaikkan tingkat risiko,” kata Bhima, Selasa (9/7/2019).

Dia mengungkapkan, undisbursed loan ini akan turun dengan sendirinya jika siklus ekonomi dalam masa pemulihan. Karena itu, memang harus menunggu perkembangan ekonomi global dan domestik.

Statistik perbankan Indonesia (SPI) periode April 2019 mencatat undisbursed loan atau kredit yang belum dicairkan oleh nasabah tercatat Rp 1.564 triliun angka ini meningkat sekitar 6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya Rp 1.474 triliun.

Pada April 2019, kredit yang diberikan tercatat Rp 5.363 triliun. Ini artinya jumlah kredit yang masih nganggur di perbankan ada sekitar 29,4% dari keseluruhan kredit. Angka ini terdiri dari kredit yang sudah commited Rp 370 triliun dan yang uncommitted Rp 1.194 triliun. (Lis)

Print Friendly, PDF & Email

Related News