Potret24.com, Pekanbaru– Dua ketua Fraksi yakni Ketua Fraksi PKS Firmansyah dan Ketua Fraksi PAN Irman Sasrianto, Jumat (15/05/2020) mendatangi Biro Hukum Pemprov Riau. Kedatangan mereka ini terkait pengesahan sepihak RPJMD oleh sekelompok anggota DPRD Pekanbaru dipimpin Wakil Ketua DPRD Pekanbaru Ginda Burnama.
Mereka menilai rapat Paripurna dengan agenda penyampaian Laporan Panitia Khusus (Pansus) DPRD Pekanbaru terhadap pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang penetapan dukumen revisi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Pekanbaru tahun 2017-2022, Senin (11/05/2020) dan Selasa (12/05/2020) kemarin dinilai cacat hukum. Selain berlawanan dengan tata tertib DPRD, juga banyak dalil hukum lainnya yang dilanggar.
Atas pertimbangan itu beberapa orang anggota DPRD Pekanbaru lintas fraksi yang menolak pelaksanaan paripurna tersebut datang ke Biro Hukum Pemprov Riau. Mereka disambut Kabag Produk Hukum Biro Hukum dan HAM Provinsi Riau, Wan Mulkan SH MSi, Kamis (14/05/2020).
Para wakil rakyat ini membawa sejumlah berkas untuk diberikan kepada Gubernur. Tampak dalam pertemuan tersebut Ketua Fraksi PKS Firmansyah, Ketua Fraksi PAN Irman Sasrianto, Anggota Fraksi Golkar Ida Yulita Susanti dan Sovia Septiana, serta Ketua Komisi I DPRD Doni Saputra.
“Kedatangan kami kesini untuk memberitahukan kepada eksekutif, khususnya biro Hukum, bahwasanya pembahasan Ranperda tentang penetapan dokumen revisi RPJMD sudah dilaksanakan Selasa kemarin. Dan kami menyampaikan kalau rapat paripurna tersebut cacat hukum, karena tidak dihadiri oleh 2/3 anggota DPRD. Rapat tersebut dipaksakan, walau jumlah anggota dewan tidak mencukupi untuk memutuskan suatu perkara,” ungkap anggota DPRD Pekanbaru dari Partai Golkar, Ida Yulita Susanti memulai pembicaraan.
Dijelaskan Ida, sesuai dengan surat Ketua DPRD Pekanbaru perihal laporan keberatan terkait penyelenggaraan Paripurna yang ditujukan kepada Gubernur Riau, bahwa banyak aturan-aturan yang dilanggar untuk melaksanakan rapat tersebut.
Padahal, berdasarkan mekanisme Permendagri No 86 Tahun 2017 pasal 342 dinyatakan bahwa, untuk efektifitas perubahan RPJMD tidak dapat dilakukan apabila, sisa masa berlaku RPJMD tersebut kurang dari tiga tahun. Dan alasan mendasar dilakukannya revisi adalah karena keadaan darurat. Dan keadaan darurat tersebut adalah pandemi Covid-19.
Selain itu, kata Ida lagi, materi dalam RPJMD Pemko Pekanbaru juga masih melakukan kajian publik tentang revisi RPJMD bersamaan dengan pembahasannya di Pansus DPRD. Hal ini mengindikasikan ketidaksiapan Pemerintah Kota Pekanbaru dalam melakukan revisi RPJMD yang diusulkan.
Ida yang dikenal vocal dan bernyali mengkritisi kebijakan pemerintah, menduga kuat Walikota ingin melegalisasi mega proyek Tenayan Raya yang menelan anggaran Rp 1,4 Triliunan lebih melalui APBD dengan skema multy years.
Meskipun dalam proses pembangunan ditemui sejumlah masalah mulai dari pengadaan lahan yang belum bersertifikat hingga adanya keterlibatan investor asing yang akan memasukkan tenaga kerja sebanyak 7000 orang sementara tenaga lokal hanya diakomodir sebanyak 500 orang.
“Dua hal ini yang kita duga membuat walikota bersama anggota dewan yang hadir saat paripurna ngebet mensahkan revisi Ranperda RPJMD itu. Masak sudah tahu dia gak kuorum masih tetap juga dipaksakan. Makanya saya dengan tegas menyatakan di media paripurna haram dan cacat hukum,” tegasnya sembari menambahkan besok mereka akan melakukan audiensi dengan ketua Bappeda Riau.
Ya, sejak awal dibahasnya revisi RPJMD Kota Pekanbaru 2017-2022 pada akhir tahun 2019 lalu, sudah menuai kotroversial dari kalangan dewan. Bahkan pihak dewan sudah jauh-jauh hari mengingatkan Pemko Pekanbaru untuk melakukan perubahan yang benar-benar disesuaikan dengan masalah dan kondisi keuangan daerah.
Meski banyak program-program pembangunan yang termaktyub dalam RPJMD tersebut tidak lagi sesuai dengan kondisi saat ini, namun tak membuat para wakil rakyat dari berbagai partai politik itu berpaling dari keinginan Pemko tersebut. Hanya 2 fraksi saja, yakni Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) dan Partai Amanat Nasional (F-PAN) yang dengan tegas menolak RPJMD tersebut terus dibahas sebelum dilakukan perbaikan-perbaikan.
Meski PKS dan PAN termasuk partai yang terbanyak wakilnya di DPRD Kota Pekanbaru, namun tak cukup kuat untuk menghadang kekuatan dari multi partai lain yang pro dengan kebijakan pemerintah.
Tersebab itu Fraksi PKS dan Fraksi PAN DPRD Kota Pekanbaru mengajukan surat permohonan penundaan Rapat Paripurna, sampai dengan melayangkan surat keberatan dari hasil rapat paripurna tersebut kepada Gubernur Riau.
“Tujuan kami kesini utnuk menyampaikan surat keberatan hasil rapat paripurna kemarin kepada gubernur. Pelaksanaannya sudah cacat hukum, bagaimana mungkin bisa disahkan. Kita berharap gubernur Riau tidak mengakomodir atau menolak untuk menerima hasil rapat paripurna kemarin,” ujar Ketua Fraksi PAN, Irman Sasrianto usai audiensi dengan Biro Hukum Pemprov Riau.
Diceritakan Irman, aturan-aturan di DPRD sepertinya sudah bukan menjadi sandaran hukum untuk ditaati. Bahkan etika sudah tidak lagi kelihatan ketika ada kepentingan lain yang lebih besar muncul di depan mata.
“Untuk apa ketua ada disini kalau pada akhirnya para wakil ketua bisa menandatangani surat keluar yang semesti ditandatangani Ketua DPRD. Ini jelas sudah melanggar kode etik dewan. Dan ini bertentangan dengan peraturan DPRD Kota Pekanbaru Nomor 1 Tahun 2019 tentang tata tertib DPRD pasal 135 yang menyatakan bahwa surat keluar termasuk undangan rapat ditandatangani oleh pimpinan DPRD. Jika ketua DPRD berhalangan, maka dapat ditandatangi oleh salah satu wakil Ketua” rutuk Irman.
Hal senada juga disampaikan Ketua Fraksi PKS, Firmansyah. Katanya, PKS sejak awal sudah menolak dilaksanakannya rapat Paripurna tersebut sebelum dilakukan perbaikan sesuai dengan apa yang disampaikan dewan dalam pandangan umum akhir fraksi.
Dia mengatakan, bahwa rapat Paripurna sebagaimana yang dimaksud juga cacat hukum karena tidak memenuhi quorum sebagaimana dijelaskan dalam tatib DPRD. Selain itu, pelaksanaan rapat paripurna DPRD telah mengambil keputusan yang notabene menyalahi ketentuan pasal 105 tentang tatib DPRD.
“Terkait dengan alasan dan dalil hukum tersebut, kami mengajukan saksi dan bukti. Dan kami meminta kepada Gubernur Riau menolak hasil Rapat Paripurna yang diadakan pada Selasa (12/5/2020) lalu, karena cacat hukum,” ucapnya.
Menanggapi laporan lima anggota dewan ini, Wan Mulkan berjanji akan segera menyampaikan dokumen tersebut kepada kepala biro.
“Nanti kepala biro hukum yang akan menyampaikan kepada pak gubernur untuk ditelaah dari berbagai aspek sesuai dengan kapasitas gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat yang salah satu tugasnya adalah melakukan pembinaan,” ucap Mulkan. (ber)