POTRET24.COM – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengingatkan ada potensi inovasi baru dalam praktek politik uang dalam pemilu 2019. Selain dengan cara memberi uang secara langsung kepada pemilih, cara lain yang sulit diketahui juga dilakukan para peserta pemilu.
“Tentu metode money politic, cara di lapangan pasti semakin berkembang, tentu kita harus lebih kritis lagi mengungkap cara baru politik uang, bisa jadi muncul inovasi baru yang terjadi dan tidak terjadi di pemilu sebelumnya,” kata Kapuspen Kemendagri Bahtiar dalam diskusi di Kantor Kemendagri, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Jumat (8/2/2019).
Bahtiar mencontohkan, salah satu bentuk politik uang adalah dengan menanam jasa dan bukan lewat pemberian uang secara langsung. Tanam jasa itu menurut Bahtiar sulit terlihat.
“Orang yang akan jadi calon jauh-jauh hari sudah tanam jasa di kampung, yang bisa mengikat elit seperti kelompok tani dan kelompok nelayan. Metode ini juga semakin berkembang, kalau money politic belanja langsung mudah terlihat, seperti memberi amplop,” ujarnya.
Dia juga menilai politik uang rawan terjadi di pemilihan legislatif. Sebab pemilu serentak membuat masyarakat lebih tertarik pada pilpres dan kurang mengawasi pileg.
“Karena dihadapkan pada 16 pilihan kemungkinan pemilih bingung saya harus pilih caleg mana dari partai mana, karena tawaran gagasan kandidat di lapangan hampir tidak ada bedanya. Karena isu tertarik ke pilpres maka isu perbedaan gagasan 16 partai pemilih tidak mampu membedakan secara baik. Dalam situasi bingung itu pemilih akan memilih yang pasti-pasti,” ucapnya.
Pengamat politik Burhanudin Muhtadi yang juga hadir dalam diskusi itu juga memprediksi potensi naiknya jumlah politik uang dalam pemilu 2019. Buhanudin menyebut politik uang semakin banyak saat mendekati hari pencoblosan.
“Karena monitor kurang, (jumlah politik uang) dugaan saya naik, dan umunya semakin dekat dengan hari H semakin naik,” ujar Burhanudin.
Selain kurangnya pengawasan, Burhanudin memandang perubahan jumlah daerah pemilihan juga mempengaruhi. Bertambahnya jumlah kursi yang diperebutkan juga membuat persaingan antar caleg semakin ketat.
“Faktornya yang bertarung di pileg jauh lebih banyak dibandingkan 2014, karena dapil nambah kursi juga nambah. Akibatnya pertarungan di bawah jauh lebih brutal, padahal buat para caleg mereka mereka dont care dengan Jokowi Prabowo,” pungkasnya. (Lis)