TALAWI – Sawahlunto bukan lagi sekadar kota tua yang terlelap dalam kenangan masa kejayaan emas hitam. Sejak ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO melalui Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto, kota ini telah bertransformasi. Dari kota industri ekstraktif yang identik dengan debu batu bara, ia bermetamorfosis menjadi kota wisata sejarah yang mempesona. Namun, di balik kemegahan gedung-gedung tua dan lubang tambang yang kini menjadi museum, terdapat tantangan fundamental yang tak kalah krusial dibanding merawat bangunan cagar budaya: merawat lingkungan hidup.
Transisi dari ekonomi tambang ke ekonomi pariwisata membawa konsekuensi ekologis yang berbeda. Jika dulu musuhnya adalah limbah tambang dan polusi udara akibat pembakaran, kini tantangannya bergeser pada manajemen sampah domestik akibat lonjakan wisatawan, pemulihan lahan kritis pasca-tambang, serta menjaga ketersediaan ruang terbuka hijau di tengah topografi kota yang berbukit-bukit. Di sinilah peran Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Sawahlunto menjadi sangat vital, bukan hanya sebagai dinas yang “menyapu jalan”, melainkan sebagai penjaga gawang keberlanjutan ekosistem kota.
Transformasi Peran: Dari Pembersih Menjadi Perancang Peradaban
Masyarakat seringkali menyederhanakan peran DLH hanya sebatas pada truk kuning pengangkut sampah atau pasukan oranye yang membersihkan drainase. Padahal, dalam konteks Sawahlunto hari ini, DLH memegang mandat yang jauh lebih strategis. Mereka adalah arsitek yang harus memastikan bahwa “paru-paru” kota ini tetap sehat di tengah gempuran modernisasi.
Kita harus mengapresiasi langkah-langkah strategis yang telah diambil oleh DLH Kota Sawahlunto dalam beberapa tahun terakhir. Upaya mempertahankan piala Adipura, misalnya, bukan sekadar mengejar gengsi seremonial semata. Di balik trofi tersebut, terdapat indikator-indikator ketat mengenai pengelolaan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), pengendalian pencemaran air, hingga kualitas udara. Namun, Redaksi Potret24.com mencatat bahwa tantangan terberat DLH saat ini bukanlah pada infrastruktur fisik, melainkan pada pembangunan infrastruktur sosial: yakni mengubah pola pikir (mindset) manusia.
Sebagai kota yang berada di cekungan (sering disebut sebagai “kota kuali”), Sawahlunto memiliki kerentanan ekologis yang spesifik. Asap atau polusi udara cenderung terperangkap lebih lama, dan aliran air dari perbukitan membawa risiko longsor serta sedimentasi ke batang air jika tidak dikelola dengan vegetasi yang kuat. Oleh karena itu, kebijakan DLH tidak bisa berdiri sendiri sebagai aturan kaku di atas kertas. Ia harus diterjemahkan menjadi gerakan akar rumput.
Kolaborasi: Kunci yang Tak Boleh Berkarat
Inilah poin krusial yang ingin kami garis bawahi: Kolaborasi. Sehebat apapun armada truk sampah yang dimiliki DLH, dan secanggih apapun teknologi pengolahan limbah yang diadopsi, semua akan sia-sia jika masyarakatnya masih membuang sampah ke aliran sungai atau membakar sampah plastik di pekarangan rumah.
Dinas Lingkungan Hidup Kota Sawahlunto tampaknya menyadari hal ini. Kita melihat adanya upaya untuk menggandeng berbagai elemen masyarakat melalui program Bank Sampah dan sekolah-sekolah berbudaya lingkungan (Adiwiyata). Namun, pertanyaannya, sejauh mana efektivitas program ini? Apakah sudah menjadi gaya hidup, atau masih sebatas formalitas lomba?
Sinergi dengan masyarakat harus diletakkan pada posisi sentral. Masyarakat Sawahlunto, yang dikenal memiliki kohesi sosial yang kuat, sebenarnya adalah aset terbesar bagi DLH. Program pengurangan sampah dari sumbernya (waste reduction at source) harus digalakkan lebih masif. DLH perlu lebih agresif “masuk” ke komunitas-komunitas, mulai dari dasawisma, karang taruna, hingga kelompok sadar wisata (Pokdarwis).
Para pelaku wisata, misalnya, harus menjadi agen lingkungan terdepan. Hotel, restoran, dan homestay di Sawahlunto wajib memiliki standar pengelolaan limbah yang ketat di bawah supervisi DLH. Jangan sampai pariwisata yang menjadi tumpuan ekonomi justru menjadi bumerang yang mengotori wajah kota. Kolaborasi ini harus bersifat simbiosis mutualisme: lingkungan yang bersih akan mendatangkan lebih banyak wisatawan, dan wisatawan yang datang akan menghargai kota yang bersih.
Tantangan Pasca-Tambang dan Ruang Terbuka Hijau
Selain masalah sampah, isu lahan bekas tambang adalah pekerjaan rumah yang tak kunjung usai. Meskipun aktivitas tambang legal mungkin sudah sangat teratur, dampak ekologis dari eksploitasi masa lalu masih menyisakan lahan-lahan kritis. Di sinilah DLH harus berkolaborasi tidak hanya dengan warga, tetapi juga dengan BUMN atau perusahaan swasta melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR) dan Reklamasi.
Penghijauan di lahan bekas tambang tidak bisa dilakukan sembarangan. Dibutuhkan kajian ilmiah mengenai jenis tanaman yang mampu bertahan di tanah dengan tingkat keasaman tinggi sekaligus mampu mengembalikan unsur hara tanah. DLH Sawahlunto harus menjadi pemimpin dalam orkestra pemulihan lahan ini. Menjadikan lahan bekas tambang sebagai kawasan ekowisata atau hutan kota adalah mimpi yang sangat mungkin direalisasikan jika kemitraan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat berjalan harmonis.
Lebih jauh, keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di pusat kota maupun di kecamatan-kecamatan pinggiran harus diperluas. RTH bukan sekadar taman bunga untuk berswafoto. RTH adalah daerah resapan air yang krusial bagi Sawahlunto yang berkontur miring. DLH perlu memastikan bahwa setiap izin pembangunan baru di kota ini tidak menggerus persentase RTH yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Ketegasan DLH dalam memberikan rekomendasi lingkungan (AMDAL/UKL-UPL) adalah benteng pertahanan terakhir kota ini dari kerusakan lingkungan yang sistematis.
Membangun Kesadaran Kolektif
Pada akhirnya, menjaga lingkungan hidup di Sawahlunto adalah tugas kolektif. DLH adalah dirigennya, namun masyarakatlah yang memainkan alat musiknya. Jika dirigen memberi aba-aba tetapi pemain musik acuh tak acuh, maka harmoni tidak akan tercipta.
Kami di Potret24.com mendorong DLH Kota Sawahlunto untuk terus berinovasi dalam metode komunikasi publik. Sosialisasi tidak harus selalu dalam bentuk seminar di gedung pertemuan. Kampanye lingkungan bisa dilakukan melalui media sosial, festival budaya, atau pendekatan adat yang menyentuh hati masyarakat. Edukasi kepada generasi muda, anak-anak sekolah, adalah investasi jangka panjang yang paling menguntungkan. Jika anak-anak Sawahlunto hari ini sudah malu membuang bungkus permen sembarangan, maka masa depan kota ini cerah.
Sebaliknya, masyarakat juga harus membuka diri. Jangan lagi menjadikan DLH sebagai “keranjang sampah” atas ketidakdisiplinan kita sendiri. Kritik boleh dilayangkan jika pelayanan sampah terlambat, namun introspeksi juga harus dilakukan: sudahkah kita memilah sampah dari rumah? Sudahkah kita mengurangi penggunaan plastik sekali pakai?
Sawahlunto memiliki segalanya untuk menjadi kota percontohan: sejarah yang kuat, budaya yang luhur, dan alam yang indah. Jangan sampai warisan dunia ini ternoda oleh ketidakpedulian kita terhadap lingkungan. Mari jadikan Sawahlunto tidak hanya kota yang “bercerita” tentang masa lalu, tetapi juga kota yang “bernapas” lega menyongsong masa depan.
Sinergi antara DLH dan masyarakat adalah kunci. Tanpa itu, predikat Warisan Dunia hanyalah piagam bisu di dinding museum, sementara di luar, alam perlahan-lahan mati. Kita tentu tidak ingin itu terjadi. Mari bergerak bersama, untuk Sawahlunto yang hijau, bersih, dan lestari. (*editorial)
Catt:
Artikel ini adalah editorial dan himbauan. Pembaca diminta untuk memverifikasi keabsahan setiap informasi, termasuk tautan yang tersedia. Informasi lebih lanjut tentang Lingkungan Hidup di Kota Sawahlunto, silahkan kunjungi laman DLH Sawahlunto (https://dlhsawahlunto.org/struktur/), atau langsung ke Kantor Dinas Lingkungan Hidup Kota Sawahlunto di Saringan, Kec. Barangin, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat 27422, Indonesia.






