KARANGAN – Kabupaten Kutai Timur (Kutim) berdiri gagah dengan semboyan “Tuah Bumi Untung Benua”. Semboyan ini menyiratkan pesan mendalam, kekayaan alam yang melimpah seharusnya membawa keberuntungan dan kesejahteraan bagi daerah dan rakyatnya. Selama dua dekade lebih, “tuah” itu diterjemahkan dalam bentuk emas hitam (batu bara) dan hamparan emas hijau (kelapa sawit) yang menjadikan Kutim sebagai salah satu kabupaten terkaya di Indonesia. Namun, menjelang pergantian tahun ini, kita perlu merenung sejenak: Apakah “tuah” ekonomi itu sebanding dengan kondisi “bumi” yang kita pijak hari ini?
Di tengah deru dump truck raksasa dan kesibukan pelabuhan batu bara, terdapat satu institusi yang memikul beban sunyi namun mahaberat, yakni Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Kutai Timur. Posisi DLH di Kutim bukanlah posisi administratif biasa. Mereka berdiri di garis depan pertarungan antara nafsu eksploitasi ekonomi dan kewajiban menjaga daya dukung ekologi.
Redaksi Potret24.com menilai, tantangan lingkungan di Kutim kini telah berevolusi. Bukan lagi sekadar soal menyapu jalanan Sangatta agar terlihat bersih, melainkan soal menjamin bahwa kabupaten ini masih layak huni (livable) ketika nanti batu baranya habis dikeruk.
Jangan Jadi Macan Ompong
Fakta tak terbantahkan adalah APBD Kutim yang jumbo sangat bergantung pada Dana Bagi Hasil (DBH) sumber daya alam. Di sini letak dilema klasiknya. DLH seringkali dihadapkan pada posisi canggung ketika harus mengawasi perusahaan-perusahaan raksasa yang menjadi tulang punggung pendapatan daerah.
Namun, kita tidak bisa menoleransi kelalaian. Lubang-lubang tambang (void) yang menganga lebar adalah monumen kerusakan yang nyata jika tidak direklamasi dengan benar. DLH Kutim harus memiliki nyali lebih tebal dalam mengawasi dokumen AMDAL dan pelaksanaan reklamasi pasca-tambang. Kita mengapresiasi beberapa void yang telah dimanfaatkan menjadi sumber air baku atau wisata, namun berapa persen rasionya dibandingkan luasan bukaan lahan?
DLH harus bertransformasi menjadi auditor lingkungan yang independen dan garang. Pengawasan terhadap kualitas air limbah tambang (settling pond) yang mengalir ke sungai-sungai publik tidak boleh sekadar formalitas uji lab berkala. Teknologi pemantauan real-time harus diwajibkan bagi perusahaan besar. Jangan sampai rakyat di hilir Sungai Sangatta atau Sungai Bengalon “meminum” limbah kemajuan ekonomi yang dinikmati segelintir orang.
Trauma Banjir dan Kesehatan Sungai
Warga Sangatta tentu belum lupa pada trauma banjir besar yang pernah melumpuhkan kota ini. Banjir bukan semata takdir Tuhan karena curah hujan tinggi. Banjir adalah akumulasi dari rusaknya daerah tangkapan air di hulu dan buruknya drainase di hilir.
Sungai Sangatta dan Sungai Bendili kini merintih. Sedimentasi tinggi dan pendangkalan sungai adalah bukti bahwa tanah di hulu tak lagi mampu menahan air. Di sinilah peran DLH Kutim sangat vital untuk bersinergi dengan instansi lain (seperti Dinas PU dan Kehutanan). DLH harus tegas menindak pembukaan lahan ilegal di sempadan sungai. Program pemulihan DAS tidak bisa ditunda. Jika DLH diam melihat hulu digunduli, maka sama saja membiarkan Sangatta tenggelam perlahan.
Adipura: Prestasi atau Ilusi?
Beralih ke masalah perkotaan, ambisi meraih Piala Adipura adalah hal yang wajar. Namun, Redaksi Potret24.com mengingatkan agar Adipura tidak menjadi “ilusi kebersihan”. Membersihkan jalan protokol saat ada penilaian juri itu mudah, tetapi membangun sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan itu sulit.
Kutim, khususnya Sangatta Utara dan Selatan, menghadapi pertumbuhan penduduk yang pesat. TPA yang ada saat ini berpacu dengan volume sampah yang terus menggunung. DLH Kutim perlu segera meninggalkan paradigma “Kumpul-Angkut-Buang”. Paradigma ini sudah usang.
Kita mendorong DLH untuk lebih agresif dalam penerapan teknologi pengolahan sampah, misalnya Refuse Derived Fuel (RDF) untuk campuran bahan bakar, atau pengomposan skala industri. Selain itu, Bank Sampah harus dihidupkan kembali dari mati surinya. Masyarakat Kutim yang heterogen dan dinamis sebenarnya siap diajak berubah, asalkan ada contoh dan sistem yang jelas. Jangan biarkan anggaran habis hanya untuk sewa alat berat di TPA atau BBM truk sampah, tanpa ada pengurangan volume sampah dari sumbernya.
Menjaga Benteng Karst dan Karbon
Kutim memiliki aset yang tak ternilai harganya: Kawasan Karst Sangkulirang-Mangkalihat. Ini bukan sekadar batu gamping; ini adalah tandon air raksasa alami dan rumah bagi warisan prasejarah dunia. Tekanan untuk menambang semen di kawasan ini sangat kuat. DLH Kutim harus menjadi benteng pertahanan terakhir. Rekomendasi lingkungan yang dikeluarkan DLH harus berpihak pada kelestarian bentang alam karst, bukan pada investor semata. Sekali karst hancur, ia tidak bisa dipulihkan.
Selain itu, dalam skema Kalimantan Timur sebagai pilot FCPF-Carbon Fund (Perdagangan Karbon), Kutim adalah pemain kunci. Hutan di Kutim adalah penyerap karbon yang akan mendatangkan insentif finansial global. DLH harus cerdas memainkan peran ini. Pastikan dana insentif karbon yang turun ke desa-desa (melalui Program Kampung Iklim/Proklim) benar-benar digunakan untuk pemberdayaan ekonomi hijau, bukan habis untuk acara seremonial.
Investasi SDM dan Laboratorium
Untuk melakukan semua tugas raksasa di atas, DLH Kutim tidak bisa bekerja dengan tangan kosong. DPRD dan Bupati harus mendukung penguatan kapasitas internal DLH. Laboratorium Lingkungan Hidup Daerah harus berstandar internasional dan terakreditasi penuh, sehingga hasil ujinya tidak bisa dibantah oleh perusahaan manapun.
Selain itu, jumlah Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) harus ditambah dan ditingkatkan kompetensinya. Mengawasi wilayah seluas Kutai Timur—yang lebih luas dari Provinsi Jawa Barat—dengan personel terbatas adalah kemustahilan.
Pada akhirnya, batu bara akan habis. Minyak akan kering. Sawit pun ada masa replanting-nya. Apa yang tersisa untuk anak cucu Kutai Timur 50 tahun lagi?
Apakah kita akan mewariskan lubang-lubang raksasa yang beracun, sungai yang dangkal dan keruh, serta udara yang sesak? Atau kita mewariskan ekosistem yang telah pulih, kota yang bersih, dan hutan yang lestari yang memberi manfaat ekonomi dari jasa lingkungan?
Jawabannya ada pada kinerja Dinas Lingkungan Hidup hari ini. DLH Kutim memegang pena sejarah itu. Kami di Potret24.com akan terus mengawasi, mengkritik, dan mendukung setiap langkah DLH. Jangan takut pada raksasa korporasi, karena kalian memiliki mandat undang-undang dan dukungan rakyat.
Jadilah dinas yang benar-benar membawa “Tuah” bagi kelestarian “Benua”. Kutim Tangguh bukan hanya soal ekonomi yang kuat, tapi juga lingkungan yang sehat. Waktu untuk berbenah semakin sempit, dan alam tidak pernah menunggu kesiapan kita. Bergeraklah sekarang, sebelum “untung” berubah menjadi “buntung”. (*editorial)
Catatan:
Artikel ini adalah editorial dan himbauan. Pembaca diminta untuk memverifikasi keabsahan setiap informasi, termasuk tautan yang tersedia. Informasi lebih lanjut tentang Lingkungan Hidup Kabupaten Kutai Timur, silahkan kunjungi laman DLH Kutai Timur (https://dlhmuarojambi.org/struktur/) atau langsung ke Kantor Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kutai Timur di Tlk. Lingga, Kec. Sangatta Utara, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur.






