SINJAI – Kabupaten Sinjai dikenal dengan julukan Bumi Panrita Kitta. Sebuah gelar yang menyiratkan bahwa tanah ini dihuni oleh masyarakat yang cerdas, religius, dan beradab. Namun, adab sebuah masyarakat tidak hanya diukur dari tingginya menara masjid atau banyaknya sarjana yang dicetak, melainkan juga dari bagaimana mereka memperlakukan alamnya.
Sinjai dianugerahi lanskap yang paripurna. Dari dinginnya kabut di dataran tinggi Sinjai Borong, rimbunnya hutan mangrove di Tongke-Tongke, hingga pesona bahari di Pulau Sembilan. Namun, keindahan ini menyimpan kerentanan. Banjir yang kerap “menyapa” Sinjai Utara saat musim hujan, serta ancaman krisis air bersih saat kemarau, adalah sinyal bahwa keseimbangan ekologis kita sedang terganggu. Di sinilah Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Sinjai memegang peran vital sebagai dirigen harmoni alam ini.
Banjir Kota: Bukan Sekadar Takdir Hujan
Setiap kali banjir menggenangi jalan-jalan protokol di Sinjai Utara, kita seringkali menyalahkan curah hujan yang tinggi. Padahal, hujan adalah berkah; ketidaksiapan kitalah yang mengubahnya menjadi musibah. DLH Sinjai harus berani melihat persoalan banjir ini bukan hanya sebagai masalah teknis drainase (yang menjadi ranah PUPR), tetapi sebagai masalah perilaku dan tata kelola sampah.
Drainase kota yang mampet oleh botol plastik dan limbah rumah tangga adalah bukti bahwa kesadaran warga masih rendah. Pasukan Kebersihan DLH memang telah bekerja keras menyapu jalanan setiap subuh, namun mereka bukanlah “tukang sulap” yang bisa menghilangkan sampah dalam sekejap jika ribuan warga lainnya terus membuang sampah sembarangan.
DLH perlu lebih agresif dalam penegakan Perda Sampah. Edukasi harus naik kelas, dari sekadar himbauan menjadi gerakan. Sanksi tegas bagi pembuang sampah di saluran air harus mulai diterapkan. Jika kita mengaku sebagai masyarakat Panrita, membuang sampah pada tempatnya seharusnya menjadi standar moral paling dasar.
Menjaga Benteng Hijau: Tongke-Tongke dan Hulu
Kita patut berbangga dengan Hutan Mangrove Tongke-Tongke yang telah mendunia. Namun, tugas DLH bukan hanya memanen pujian atas warisan penanaman masa lalu. Tugas hari ini adalah memastikan kawasan konservasi ini tidak tergerus oleh kepentingan ekonomi jangka pendek, seperti tambak ilegal atau pembangunan wisata yang tidak ramah lingkungan.
Di sisi lain, mata kita harus tertuju ke hulu. Kawasan dataran tinggi di Sinjai Barat dan Sinjai Borong adalah menara air bagi kabupaten ini. Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian semusim tanpa kaidah konservasi tanah adalah ancaman nyata. Jika hulu gundul, maka hilir (Sinjai Utara) akan terus tenggelam.
DLH Sinjai harus mengambil peran sebagai koordinator lintas sektor. Sinergi dengan Dinas Pertanian diperlukan untuk mengedukasi petani di hulu tentang pola tanam yang menahan erosi. Sinergi dengan kehutanan diperlukan untuk reboisasi. DLH tidak bisa bekerja parsial hanya mengurus taman kota, sementara “atap” kabupaten ini bocor.
Tantangan Pulau Sembilan
Satu isu spesifik yang memerlukan atensi khusus DLH adalah pengelolaan lingkungan di Kecamatan Pulau Sembilan. Sebagai wilayah kepulauan, manajemen sampah di sana sangat kompleks. Membakar sampah mencemari udara, membuang ke laut merusak terumbu karang.
DLH ditantang untuk menghadirkan teknologi tepat guna di wilayah kepulauan ini. Mungkin berupa insinerator ramah lingkungan skala kecil atau program pengurangan sampah plastik secara radikal. Pulau Sembilan adalah permata wisata Sinjai; jangan sampai permata itu kusam tertutup sampah plastik kiriman maupun sampah lokal.
Revitalisasi Adipura: Substansi di Atas Plakat
Sinjai memiliki sejarah manis dengan penghargaan Adipura. Namun, Redaksi Potret24.com mengingatkan bahwa Adipura bukanlah tujuan akhir. Ia hanyalah bonus. Jangan sampai kita terjebak pada sindrom “kota bersih saat penilaian”.
Sistem pengelolaan sampah di TPA Tondong harus terus dimodernisasi. Gas metana dari tumpukan sampah harus dikelola agar tidak menjadi bom waktu (seperti risiko kebakaran atau ledakan). Program Bank Sampah Induk harus benar-benar menjadi unit bisnis yang menguntungkan warga, bukan sekadar papan nama organisasi yang mati suri.
Membangun Sinjai yang lestari membutuhkan kolaborasi kolosal. Pemerintah Daerah melalui DLH menyiapkan infrastruktur dan regulasi, namun “ruh” dari keberhasilan itu ada pada masyarakat.
Kembali pada filosofi Bumi Panrita Kitta, sudah saatnya kita menerjemahkan kecendekiaan itu dalam aksi nyata menjaga lingkungan. Seorang Panrita (orang bijak) tidak akan mewariskan air yang keruh dan tanah yang tandus kepada anak cucunya.
Kami menanti terobosan-terobosan berani dari DLH Kabupaten Sinjai. Jangan biarkan Sinjai hanya indah di foto Instagram, tetapi rapuh di struktur ekologinya. Mari jadikan Sinjai kabupaten yang tidak hanya cerdas otaknya, tetapi juga bersih lingkungannya. (*editorial)
Catatan:
Artikel ini adalah editorial dan himbauan. Pembaca diminta untuk memverifikasi keabsahan setiap informasi, termasuk tautan yang tersedia. Informasi lebih lanjut tentang Lingkungan Hidup Kabupaten Sinjai, silahkan kunjungi laman DLH Sinjai (https://dlhsinjai.org/struktur/) atau langsung ke Kantor Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sinjai di Jl. Persatuan Raya, Biringere, Kec. Sinjai Utara, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan.






