KEPAHIANG – Kabupaten Kepahiang bukan sekadar wilayah perlintasan yang menghubungkan pesisir Bengkulu dengan dataran tinggi Sumatera Selatan. Daerah ini adalah permata hijau yang dianugerahi bentang alam memukau. Dengan hamparan kebun teh Kabawetan yang menyelimuti bukit bak karpet hijau, udara sejuk yang menyegarkan paru-paru, hingga keajaiban dunia Rafflesia Arnoldii yang mekar di hutan-hutannya, Kepahiang layak menyandang julukan Bumi Sehasen (Selaras, Elok, Harmonis, Aman, Sentosa).
Namun, keindahan alam seringkali meninabobokan kita. Di balik kabut tipis yang menyelimuti Liku Sembilan setiap pagi, tersimpan ancaman degradasi lingkungan yang nyata. Pertumbuhan populasi, intensifikasi pertanian, dan geliat pariwisata membawa residu yang bernama sampah dan pencemaran. Di sinilah Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Kepahiang berdiri. Tugas mereka bukan hanya memastikan truk sampah berjalan setiap pagi, melainkan menjaga agar “paru-paru” dan “sumber air” di hulu Sumatera ini tidak rusak oleh ambisi pembangunan.
Redaksi Potret24.com menilai, saat ini DLH Kepahiang sedang berada di persimpangan jalan: Antara terjebak dalam rutinitas birokrasi penanganan sampah konvensional, atau bertransformasi menjadi garda terdepan penyelamat ekosistem hulu.
Benang Kusut Pengelolaan Sampah: Belajar dari Muara Langkap
Isu paling kasat mata yang menjadi rapor merah di banyak daerah, termasuk Kepahiang, adalah sampah. Kita sering mendengar keluhan masyarakat tentang keterlambatan pengangkutan sampah atau tumpukan limbah di sudut-sudut Pasar Kepahiang. TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) Muara Langkap yang menjadi tumpuan akhir, kerap kali mengalami kendala teknis, mulai dari kerusakan alat berat hingga sistem pengelolaan yang masih didominasi open dumping (pembuangan terbuka).
DLH Kepahiang harus menyadari bahwa mengandalkan TPA semata adalah strategi usang. Dengan luas wilayah yang terbatas dan topografi berbukit, mencari lahan TPA baru di masa depan akan sangat sulit dan mahal. Solusinya harus ditarik ke hulu: Pengurangan sampah dari sumbernya.
Redaksi mendorong DLH untuk lebih serius menggarap program TPS3R (Tempat Pengolahan Sampah – Reduce, Reuse, Recycle) di tingkat desa dan kelurahan. Kepahiang memiliki struktur masyarakat desa yang kuat. Dana Desa seharusnya bisa dikolaborasikan untuk pengelolaan sampah mandiri. DLH harus menjadi mentor teknis, bukan pemain tunggal. Jika setiap desa di Kepahiang mampu mengelola sampah organiknya menjadi kompos untuk pertanian, beban TPA Muara Langkap akan berkurang drastis. Ini adalah lingkaran solusi yang cerdas: sampah desa kembali ke tanah desa sebagai pupuk, bukan menjadi gunung masalah di TPA.
Sungai Musi dan Ancaman “Limbah Kimia” Pertanian
Kepahiang adalah wilayah hulu. Air yang mengalir dari sungai-sungai di sini akan diminum oleh jutaan saudara kita di hilir hingga ke Sumatera Selatan. Namun, sungai-sungai di Kepahiang kini menghadapi musuh yang tak terlihat: residu kimia pertanian.
Sebagai sentra sayur-mayur dan kopi, penggunaan pestisida dan pupuk kimia di Kepahiang cukup tinggi. Saat hujan turun, residu ini tercuci masuk ke sungai. Belum lagi masalah limbah domestik rumah tangga yang pipa pembuangannya langsung mengarah ke badan air.
Di sinilah peran DLH sebagai pengawas kualitas lingkungan diuji. Apakah Laboratorium Lingkungan DLH Kepahiang berfungsi optimal memantau baku mutu air sungai secara berkala? DLH harus berani bersinergi dengan Dinas Pertanian untuk mengedukasi petani tentang pertanian ramah lingkungan. Menjaga sungai di Kepahiang adalah tugas kemanusiaan lintas provinsi. Jangan sampai Bumi Sehasen dituding sebagai penyuplai racun bagi ekosistem Sungai Musi.
Pariwisata Tanpa Sampah: Sebuah Keharusan
Visi pemerintah daerah untuk memajukan pariwisata Kepahiang—seperti pengembangan Mountain Valley di Kabawetan—adalah langkah positif secara ekonomi. Namun, pariwisata tanpa manajemen lingkungan adalah bunuh diri ekologis.
Wisatawan datang mencari keindahan, bukan tumpukan botol plastik di sela-sela pohon teh. DLH Kepahiang harus hadir di setiap destinasi wisata, bukan hanya sebagai tukang bersih-bersih pasca-event, tetapi sebagai pembuat sistem.
Para pengelola objek wisata, baik pemerintah maupun swasta, wajib memiliki dokumen pengelolaan lingkungan yang jelas. Standar kebersihan toilet, ketersediaan tempat sampah terpilah, dan larangan penggunaan plastik sekali pakai di area konservasi harus ditegakkan. DLH perlu menerapkan sanksi tegas. Jika ada objek wisata yang abai terhadap kebersihan dan merusak lingkungan, DLH harus berani merekomendasikan penutupan sementara. Pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang menghormati alam, bukan yang memperkosanya.
Melindungi Rumah Puspa Langka
Kepahiang adalah rumah bagi Rafflesia Arnoldii. Bunga raksasa ini adalah barometer kesehatan hutan kita. Ia tidak akan tumbuh di hutan yang rusak. Keberadaan puspa langka ini adalah pengingat bahwa tugas DLH juga mencakup aspek keanekaragaman hayati.
Ancaman perambahan hutan lindung untuk pembukaan ladang baru masih terjadi. DLH memang bukan pemegang otoritas tunggal kehutanan, namun DLH memiliki kewenangan dalam aspek perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup daerah. DLH harus menjadi “polisi moral” yang mengingatkan bahwa alih fungsi hutan lindung akan membawa bencana hidrologis seperti longsor dan banjir bandang, yang pada akhirnya merugikan masyarakat Kepahiang sendiri.
Membangun Pasukan “Sehasen”
Pada akhirnya, DLH Kabupaten Kepahiang tidak bisa bekerja sendirian dengan anggaran dan personel yang terbatas. Kunci keberhasilan pengelolaan lingkungan ada pada partisipasi publik.
Program Sekolah Adiwiyata harus digencarkan kembali. Generasi muda Kepahiang harus dicetak menjadi generasi yang malu membuang sampah sembarangan. Tokoh adat dan tokoh agama perlu digandeng untuk menyuarakan bahwa menjaga kebersihan adalah bagian dari iman dan tradisi leluhur.
Redaksi Potret24.com menaruh harapan besar pada kepemimpinan di DLH Kepahiang saat ini. Kami menanti terobosan-terobosan inovatif, bukan sekadar laporan rutin “Asal Bapak Senang”. Kepahiang memiliki potensi untuk menjadi kabupaten percontohan di Provinsi Bengkulu dalam hal tata kelola lingkungan berbasis pertanian dan pariwisata.
Mari kita jaga Bumi Sehasen agar tetap elok dipandang, sejuk dirasa, dan lestari untuk anak cucu. Jangan biarkan Kepahiang menjadi kota yang panas, kotor, dan kehilangan identitas hijaunya. DLH adalah nakhodanya, dan masyarakat adalah awak kapalnya. Mari berlayar menuju keberlanjutan. (*editorial)
Catatan:
Artikel ini adalah editorial dan himbauan. Pembaca diminta untuk memverifikasi keabsahan setiap informasi, termasuk tautan yang tersedia. Informasi lebih lanjut tentang Lingkungan Hidup Kabupaten Kepahiang, silahkan kunjungi laman DLH Kepahiang (https://dlhkepahiang.org/profile/tentang/) atau langsung ke Kantor Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kepahiang di Jl. Aipda Muan, Pelangkian, Kec. Kepahiang, Kabupaten Kepahiang, Bengkulu.






