BEUTONG – Aceh Selatan adalah sepenggal surga yang jatuh di pesisir barat-selatan Aceh. Legenda Tuan Tapa dan Putri Naga bukan sekadar dongeng pengantar tidur, melainkan simbol betapa alam—laut dan gunung—menyatu erat dengan denyut nadi masyarakatnya. Dengan topografi yang dramatis, di mana Pegunungan Bukit Barisan seolah langsung menceburkan diri ke Samudra Hindia, Kabupaten Aceh Selatan menyimpan kekayaan biodiversitas yang tak ternilai harganya. Ia adalah benteng terakhir Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), rumah bagi pala kualitas dunia, dan koridor bagi Harimau Sumatera yang agung.
Namun, di balik pesona “Kota Naga” yang melegenda, tersimpan luka-luka ekologis yang kian menganga. Sungai yang dulu jernih kini keruh bercampur lumpur dan merkuri, hutan yang dulu rimbun kini gundul menyisakan ancaman banjir bandang, dan satwa liar yang terdesak turun ke kampung menebar teror. Di tengah situasi kritis ini, mata publik tertuju pada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Aceh Selatan.
Redaksi Potret24.com menilai, tugas DLH Aceh Selatan hari ini bukan lagi sekadar urusan administratif persampahan. DLH sedang memikul beban sejarah: apakah Aceh Selatan akan tetap menjadi Negeri Pala yang subur dan aman, atau berubah menjadi wilayah bencana akibat keserakahan yang tak terkendali?
Menggamat dan Sungai yang Menangis
Isu yang paling menyayat hati dan menuntut nyali besar DLH adalah aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI), terutama di kawasan Kluet Tengah (Menggamat) dan Sawang. Sungai-sungai di sana tak lagi bening. Mereka berubah warna menjadi cokelat pekat, membawa serta sedimen lumpur yang mematikan kehidupan akuatik.
Lebih mengerikan lagi adalah ancaman “pembunuh senyap”: Merkuri. Penggunaan zat kimia berbahaya dalam pengolahan emas ilegal adalah bom waktu bagi generasi Aceh Selatan. Merkuri tidak akan hilang dalam setahun dua tahun; ia mengendap, masuk ke rantai makanan, dimakan ikan, dan berakhir di piring makan warga. Dampaknya? Stunting, cacat lahir, dan kerusakan saraf permanen (Minamata).
Di sinilah DLH Aceh Selatan harus tampil lebih garang. Kami memahami bahwa penindakan hukum tambang ilegal melibatkan aparat kepolisian dan pemerintah provinsi/pusat. Namun, DLH memiliki otoritas sains dan data. DLH wajib melakukan uji kualitas air sungai secara berkala dan transparan. Umumkan hasilnya ke publik! Jika air sungai mengandung merkuri di atas ambang batas, teriakkan itu sekeras-kerasnya. Jangan biarkan rakyat “minum racun” dalam ketidaktahuan. Diamnya DLH dalam isu pencemaran sungai adalah bentuk pembiaran terhadap kejahatan kemanusiaan.
Trumon Raya dan Alarm dari Hulu
Bencana banjir bandang yang meluluhlantakkan kawasan Trumon Raya dan Ladang Rimba beberapa waktu lalu seharusnya menjadi tamparan keras. Banjir bandang yang membawa serta bongkahan kayu besar (balok) adalah bukti tak terbantahkan bahwa hutan di hulu sedang dijarah. Daerah tangkapan air (catchment area) telah kehilangan fungsinya.
DLH Aceh Selatan memang bukan Polisi Hutan. Namun, DLH memiliki peran vital dalam Tata Ruang dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Setiap izin pembukaan lahan, baik untuk perkebunan sawit maupun infrastruktur, harus melewati filter DLH. Apakah DLH sudah cukup ketat dalam memberikan rekomendasi lingkungan? Atau justru rekomendasi itu keluar semudah membalik telapak tangan demi alasan “investasi”?
Hutan Aceh Selatan adalah penyangga kehidupan. Jika Leuser rusak, maka Aceh Selatan akan tenggelam. DLH harus berani menjadi “oposisi” yang konstruktif di dalam pemerintahan ketika ada rencana pembangunan yang mengancam kawasan hutan lindung. Sinergi dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan aktivis lingkungan harus diperkuat untuk memantau kondisi tutupan hutan.
Kota Naga yang Bersih: Tantangan Topografi
Beralih ke ibu kota Tapaktuan. Kota ini indah namun sempit. Terjepit di antara tebing batu dan laut, pengelolaan sampah di Tapaktuan adalah tantangan teknis yang rumit. TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) yang ada memiliki kapasitas terbatas. Seringkali, kita melihat sampah menumpuk di sudut-sudut kota atau, yang lebih parah, berakhir di laut.
Sebagai daerah pesisir, Aceh Selatan tidak boleh memunggungi laut. Sampah plastik di laut Tapaktuan bukan hanya merusak pemandangan RTH Taman Pala Indah, tetapi juga mematikan potensi wisata bahari.
DLH Aceh Selatan perlu melakukan inovasi radikal. Konsep TPA Open Dumping (buang terbuka) sudah tidak relevan lagi di wilayah yang lahan datarnya terbatas. Teknologi pengolahan sampah menjadi energi atau material daur ulang (RDF) harus mulai dipikirkan. Selain itu, program pengurangan sampah dari tingkat Gampong (desa) harus digalakkan. Dana Gampong yang cukup besar harus diarahkan sebagian untuk pengelolaan sampah mandiri, sehingga beban residu yang diangkut ke TPA kabupaten berkurang drastis.
Ketika “Datuk” Turun Gunung
Konflik manusia dan satwa liar, khususnya Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), semakin sering terjadi di Aceh Selatan. Harimau turun ke jalan raya, masuk ke perkebunan warga, bahkan memangsa ternak. Dalam kacamata ekologi, ini bukan karena harimau “jahat”, melainkan karena “rumahnya” dirusak.
DLH Aceh Selatan harus melihat fenomena ini sebagai indikator kerusakan lingkungan. Harimau adalah spesies payung (umbrella species). Jika dia terganggu, berarti seluruh ekosistem di bawahnya sudah kacau. DLH perlu bersinergi dengan BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) untuk memastikan koridor satwa tetap terjaga. Penanaman kembali (replanting) area-area kritis yang menjadi jalur jelajah satwa harus menjadi prioritas. Jangan sampai Aceh Selatan dikenal sebagai tempat “pembantaian” satwa lindung akibat konflik perebutan ruang.
Membumikan Syariat dalam Lingkungan
Aceh adalah daerah istimewa yang menerapkan Syariat Islam. Seharusnya, nilai-nilai Islam menjadi modal sosial terkuat dalam menjaga lingkungan. Kebersihan adalah sebagian dari iman. Larangan merusak bumi (fasad fil ardh) tertulis jelas dalam Al-Qur’an.
DLH Aceh Selatan memiliki peluang emas untuk memadukan pendekatan teknis dengan pendekatan religius dan adat. Libatkan para Ulama, Teungku Dayah, serta lembaga adat seperti Panglima Laot dan Panglima Uteun. Jika fatwa haram membuang sampah sembarangan atau haram meracuni sungai dengan merkuri disuarakan dari mimbar-mimbar masjid, dampaknya akan jauh lebih dahsyat daripada sekadar spanduk himbauan pemerintah.
Menjaga Warisan Indatu
Aceh Selatan memiliki sejarah panjang sebagai daerah penghasil rempah yang disegani dunia. Pala Aceh Selatan adalah warisan indatu (leluhur) yang tumbuh subur karena tanah dan iklimnya terjaga. Tugas generasi hari ini, khususnya Pemerintah Kabupaten melalui DLH, adalah memastikan warisan itu tidak putus.
Redaksi Potret24.com menaruh harapan besar di pundak DLH Aceh Selatan. Jangan takut bertindak tegas terhadap perusak lingkungan, siapa pun beking-nya. Jangan takut bersuara lantang membela sungai dan hutan. Karena di balik seragam dinas itu, Anda memikul amanah untuk menyelamatkan masa depan anak cucu Bumi Teuku Cut Ali.
Mari kembalikan kejayaan Aceh Selatan yang sejuk, bersih, dan lestari. Biarkan Sang Naga tidur dengan tenang di tepi laut, jangan bangunkan ia dengan bencana alam akibat ulah tangan kita sendiri.
Catatan:
Artikel ini adalah editorial dan himbauan. Pembaca diminta untuk memverifikasi keabsahan setiap informasi, termasuk tautan yang tersedia. Informasi lebih lanjut tentang Lingkungan Hidup Kabupaten Aceh Selatan, silahkan kunjungi laman DLH Aceh Selatan atau langsung ke Kantor Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kepahiang di Jl. Cemp., Lhok Bengkuang, Kec. Tapak Tuan, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh.






