JAKARTA — Di tengah hiruk-pikuk metropolitan Jakarta, semakin banyak anak muda, pasangan baru menikah, dan profesional memilih tinggal di apartemen sewa ketimbang membeli rumah di pinggiran. Pilihan ini bukan semata karena keterbatasan dana, melainkan karena perubahan cara pandang terhadap makna “memiliki” dan “nyaman” dalam hidup modern.
Dulu, rumah tapak dianggap simbol kemapanan. Namun bagi generasi milenial dan Gen Z yang hidup di tengah ritme kota yang cepat, ukuran kemapanan kini bergeser. Bukan lagi seberapa besar rumah yang dimiliki, tetapi seberapa efisien waktu yang bisa dihemat setiap hari.
Bima (28), seorang profesional muda di kawasan SCBD, menuturkan alasannya meninggalkan rumah keluarga di Depok untuk menyewa apartemen dekat kantornya.
“Dulu saya butuh hampir dua jam pulang-pergi setiap hari. Sekarang saya bisa bangun lebih siang, olahraga di gym apartemen, dan masih sempat sarapan. Saya kehilangan kepemilikan rumah, tapi saya dapat waktu yang lebih berharga,” ujarnya sambil tersenyum.
Pola pikir seperti Bima kini menjadi hal umum di kalangan muda perkotaan. Mereka memandang menyewa apartemen sebagai solusi rasional di tengah tingginya harga properti dan mobilitas kerja yang tinggi. Bagi banyak dari mereka, lokasi strategis, kemudahan transportasi, dan fasilitas lengkap jauh lebih bernilai dibanding sekadar “punya rumah sendiri” yang jaraknya puluhan kilometer dari pusat kota.
Dari sisi finansial, menyewa apartemen dianggap lebih realistis. Uang muka atau down payment (DP) rumah di kawasan sekitar Jabodetabek terus naik, sedangkan gaji tidak bertumbuh secepat harga properti. Dengan memilih menyewa, mereka bisa tinggal di hunian layak tanpa harus mengorbankan tabungan selama bertahun-tahun. Selain itu, gaya hidup perkotaan yang dinamis membuat banyak pekerja ingin tinggal di tempat yang dekat dengan pusat hiburan, kuliner, dan fasilitas publik.
Mobilitas karier juga menjadi pertimbangan penting. Banyak pekerja profesional berpindah proyek atau perusahaan dalam hitungan tahun. Membeli rumah dirasa belum perlu jika dalam waktu dekat mereka mungkin harus berpindah kota. Fleksibilitas yang ditawarkan oleh sistem sewa memberi kebebasan untuk menyesuaikan tempat tinggal dengan ritme karier.
Ketimpangan Harga Rumah dan Kebutuhan Nyata
Data mendukung fenomena ini. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Harga Properti Perumahan (IHPP) terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, menandakan harga rumah naik lebih cepat dibanding daya beli masyarakat. Di sisi lain, survei Colliers dan Cushman & Wakefield menunjukkan bahwa tingkat hunian apartemen sewa di Jakarta relatif stabil dengan permintaan yang cenderung naik di segmen pekerja muda.
Secara ekonomi, ketimpangan ini tampak jelas. Rata-rata yield sewa apartemen di Jakarta mencapai lebih dari 12% per tahun menurut Global Property Guide, angka yang menunjukkan kuatnya pasar sewa di pusat kota. Sebaliknya, di wilayah penyangga seperti Tangerang, yield-nya berada di sekitar 5–6%, menandakan bahwa kawasan sekitar Jakarta menjadi alternatif bagi mereka yang ingin tinggal dekat ibu kota tanpa biaya sewa setinggi pusat kota.
Pasokan apartemen sewa juga terus bertambah. Hingga kuartal pertama 2024, tercatat lebih dari sepuluh ribu unit apartemen sewa aktif di Jakarta, dengan proyeksi pertumbuhan signifikan di sepanjang koridor transportasi massal. Keberadaan moda transportasi baru seperti MRT, LRT, dan kereta komuter membuat hunian vertikal di sekitar stasiun menjadi incaran utama penyewa.
Kisah Kiki (26) dan Ardi (28) menggambarkan situasi ini dengan jelas. Pasangan yang baru menikah itu awalnya berniat membeli rumah di kawasan Bekasi. Namun setelah menghitung biaya dan waktu tempuh yang bisa mencapai dua jam perjalanan setiap hari, mereka berubah pikiran. Kini mereka menyewa apartemen di kawasan Serpong, Tangerang Selatan, yang jaraknya hanya tiga puluh menit dari tempat kerja masing-masing.
“Kami tetap menabung untuk rumah nanti, tapi kami ingin hidup yang seimbang dulu. Pulang ke rumah tanpa stres, bisa olahraga, bisa masak bareng. Itu lebih penting,” ujar Kiki.
Sementara itu, Rio (30), seorang pekerja di industri teknologi, memilih tinggal di unit studio di kawasan Sudirman. Ia mengaku belum tertarik membeli rumah karena pekerjaannya menuntut mobilitas tinggi.
“Saya mungkin pindah ke kota lain dalam dua tahun. Kalau punya rumah sekarang, justru jadi beban. Dengan menyewa, saya bisa pindah kapan saja,” katanya.
Dua cerita ini memperlihatkan motivasi yang serupa. Mereka memahami bahwa menyewa bukan bentuk ketidakmampuan, melainkan keputusan hidup yang disesuaikan dengan kebutuhan dan prioritas masa kini.
Mengapa Membeli Rumah Kini Terasa Berat
Kenaikan harga rumah di kawasan urban telah mengubah peta hunian di Jabodetabek. Rumah tapak di area pinggiran seperti Cikarang, Bekasi, atau Serpong mungkin lebih terjangkau dari sisi harga, tetapi biaya transportasi dan waktu tempuh menjadi pengorbanan besar. Rata-rata perjalanan dua hingga tiga jam per hari bukan hanya melelahkan, tetapi juga menggerus produktivitas dan waktu bersama keluarga.
Selain itu, biaya kepemilikan rumah tidak berhenti pada pembayaran cicilan. Pajak, biaya perawatan, renovasi, dan nilai likuiditas yang lambat membuat banyak orang muda berpikir dua kali. Ketika nilai rumah memang naik, keuntungan tersebut baru terasa setelah bertahun-tahun, sedangkan kebutuhan mereka bersifat jangka pendek, sebatas pada perlunya hunian nyaman dan dekat dengan aktivitas.
Generasi muda juga semakin sadar bahwa “memiliki” tidak selalu berarti “lebih baik”. Mereka menempatkan pengalaman dan efisiensi di atas simbol status. Rumah besar di pinggiran mungkin terdengar menguntungkan di atas kertas, tapi apartemen kecil yang strategis di tengah kota seringkali lebih sesuai dengan pola hidup mereka.
Tangerang: Lokasi Alternatif yang Menarik
Salah satu kawasan yang kini menjadi sorotan adalah Tangerang. Wilayah ini berada di antara dua dunia: masih terjangkau secara harga, namun cukup dekat dengan Jakarta untuk mobilitas kerja. Infrastruktur yang terus berkembang — mulai dari tol Serpong–BSD hingga akses kereta dan bus — menjadikan Tangerang pilihan rasional bagi banyak profesional.
Portal properti nasional mencatat peningkatan signifikan dalam pencarian unit sewa apartemen di Tangerang selama dua tahun terakhir. Banyak pekerja memilih tinggal di sini karena bisa menikmati fasilitas modern tanpa membayar sewa setinggi Jakarta pusat.
Pasangan seperti Kiki dan Ardi bukanlah pengecualian. Banyak profesional muda kini menjadikan Tangerang sebagai “zona transisi” — tempat tinggal sementara yang nyaman sebelum mereka benar-benar siap membeli rumah. Dengan yield sewa di kisaran 5,7% per tahun, kawasan ini menarik baik bagi penyewa maupun investor yang mengincar stabilitas jangka panjang.
Dampak bagi Industri Properti dan Pemerintah
Bergesernya pola konsumsi properti ini memaksa pengembang untuk menyesuaikan strategi. Alih-alih mengandalkan penjualan unit, banyak pengembang mulai menggarap proyek build-to-rent (BTR), yaitu bangunan apartemen yang dikelola khusus untuk disewakan dengan layanan profesional. Konsep ini telah lama populer di luar negeri dan mulai muncul di pasar Indonesia sebagai solusi bagi generasi muda yang mengutamakan fleksibilitas.
Selain itu, konsep co-living juga berkembang pesat. Model hunian bersama dengan fasilitas berbagi ini diminati oleh para profesional single yang ingin hidup efisien dengan biaya terjangkau. Mereka tidak sekadar mencari tempat tinggal, melainkan komunitas yang mendukung gaya hidup modern.
Dari sisi kebijakan publik, pemerintah daerah menghadapi tantangan baru: bagaimana menyediakan hunian terjangkau di pusat aktivitas ekonomi tanpa memperluas urban sprawl. Penguatan transportasi massal, integrasi tata ruang, serta program rumah terjangkau dekat pusat kerja menjadi agenda penting jika ingin menahan arus perpindahan penduduk ke pinggiran.
Risiko Menyewa tanpa Rencana
Meski menyewa tampak menguntungkan, para ahli keuangan mengingatkan agar penyewa tidak terjebak dalam “lingkaran konsumsi”. Total biaya sewa selama satu dekade bisa setara atau bahkan lebih besar dari cicilan rumah. Karena itu, penting bagi penyewa muda untuk tetap memiliki strategi finansial jangka panjang — entah dengan menabung untuk DP, berinvestasi di instrumen lain, atau mengikuti skema rent-to-own yang mulai berkembang di Indonesia.
Selain itu, penyewa perlu cermat membaca kontrak. Kenaikan sewa tahunan, aturan pemeliharaan, dan kebijakan pengelola apartemen dapat berpengaruh besar terhadap stabilitas biaya hidup. Tanpa perencanaan, keuntungan fleksibilitas bisa berubah menjadi ketidakpastian finansial.
Fenomena meningkatnya preferensi menyewa apartemen di kalangan muda perkotaan adalah tanda perubahan besar dalam pola hidup dan struktur ekonomi masyarakat Indonesia. Kepemilikan rumah tidak lagi menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan, melainkan salah satu pilihan di antara banyak cara hidup yang sah dan rasional.
Generasi muda tidak menolak gagasan memiliki rumah, tetapi mereka menunda keputusan itu sampai waktunya tepat — ketika keuangan stabil, lokasi sesuai, dan gaya hidup tidak dikorbankan. Bagi pengembang, investor, dan pemerintah, tren ini menjadi sinyal untuk menghadirkan lebih banyak opsi hunian yang fleksibel, strategis, dan manusiawi.
Pada akhirnya, menyewa bukan berarti kalah, dan membeli bukan berarti menang. Dalam lanskap urban yang terus berubah, yang paling penting adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan kebutuhan hidup, menjaga keseimbangan antara kenyamanan, efisiensi, dan masa depan.*

 
							 
                    





 
                    