RENGAT – Ratusan petani Desa Sungai Raya dan Kelurahan Sekip Hilir Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), kembali menggelar aksi unjuk rasa di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Inhu untuk mendesak manajemen PT Sinar Belilas Perkasa (SBP) menghentikan dugaan kriminalisasi terhadap petani, Senin (11/8/2025).
Tidak lama setelah menyampaikan orasinya di kantor BPN Inhu, massa kemudian berlanjut unjuk rasa di depan kantor Bupati Inhu.
Massa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Untuk Keadilan (AMUK) Inhu membawa sejumlah spanduk berisi kecaman terkait konflik lahan yang mereka hadapi. Salah satu spanduk bertuliskan, “Bupati Inhu tidur, Wakil Bupati tidur, Sekda tidur, Tapem Setda tidur, karena kenyang bersama mafia DH”.
Ketua AMUK Inhu, Andi Irawan, dalam orasinya menegaskan pihaknya menuntut penyelesaian batas kecamatan dan desa di wilayah Rengat dan Rengat Barat dilakukan secara transparan.
“Pengambilan titik koordinat harus dibuatkan berita acara langsung di lokasi,” ujarnya.
Usai menyampaikan aspirasi, massa diapresiasi oleh Wakil Bupati Inhu, Hendrizal, yang hadir langsung menemui para petani. Ia menegaskan bahwa Bupati Inhu, Ade Agus Hartanto, telah memerintahkan pembentukan tim penyelesaian sengketa dalam waktu dua hari.
“Bupati sudah menginstruksikan agar tim segera dibentuk. Jadi jangan bilang kami tidur. Saya Wakil Bupati ada di sini, saya datang menemui bapak-ibu,” tegas Hendrizal sambil menanggapi spanduk yang menyebut Bupati dan Wakil Bupati ‘tidur’.
Dalam kesempatan itu, Hendrizal membacakan enam poin tuntutan AMUK dan menjelaskan mekanisme penyelesaiannya.
Tuntutan pertama, meminta Pemda Inhu menetapkan tapal batas Kecamatan Rengat dan Rengat Barat sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 33 Tahun 1995 tentang tentang Pembentukan 13 (Tiga Belas) Kecamatan di Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Bengkalis, Indragiri Hilir, Indragiri Hulu dan Kampar dalam Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Riau.
“Nanti Tapem selesaikan,” kata Hendrizal.
Tuntutan kedua, Menghentikan kriminalisasi terhadap petani. Kami bukan penyerobot atau perambah liar. Kami adalah warga negara yang menggantungkan hidup dari tanah dan telah merawatnya jauh sebelum perusahaan memperoleh izin. Negara hendaknya melindungi rakyat yang lemah seperti diamanatkan UUD 1945 serta memastikan bahwa hak atas tanah digunakan untuk kepentingan bersama.
“Tuntutan kedua ini nanti diselesaikan oleh Pemkab Inhu,” ujar Hendrizal.
Kemudian tuntutan ketiga, mengakui dan melindungi hak masyarakat atas lahan. Kami memohon agar SKT dan bukti penggarapan turun-temurun kami diakui sebagai dasar hukum untuk memperoleh hak atas tanah. Kerena setiap warga negara berhak memperoleh lahan untuk kehidupannya. Kami juga mendukung program reforma agraria untuk pemerataan penguasaan tanah.
“Ini penyelesaiannya di BPN,” sebut Hendrizal.
Tuntutan keempat, Mengedepankan penyelesaian berbasis keadilan agraria dengan menempatkan masyarakat sebagai subjek utama. Proses mediasi harus melibatkan petani, pemerintah daerah, kementerian terkait secara adil. Resolusi konflik harus menjamin bahwa tanah dikelola sesuai fungsi sosialnya dan memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.
“Ini penyelesaiannya BPN lagi,” kata Hendrizal.
Tuntutan kelima, Adanya dugaan pelanggaran undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh salah satu oknum notaris dengan modus pemalsuan keterangan dalam suatu akta otentik dengan maksud untuk memakai dan atau menyuruh orang lain untuk memakai dan atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran.
“Kalian buktikan saja sendiri,” kata Hendrizal.
Tuntutan keenam, Segera membentuk tim penyelesaian sengketa sebagaimana ketentuan perundang undangan dan sejalan rekomendasi DPRD Inhu tertanggal 25 April 2025 lalu.
“Berapa hari ini pak Kabag Tapem, bentuk tim ini,” ucap Hendrizal seraya bertanya dan menyepakati dua hari.
Di akhir tanggapan Wabup Hendrizal, juga mengimbau petani untuk tidak menghalangi tim Pemda Inhu yang akan melakukan pengukuran batas kecamatan dan desa terkait tuntutan masyarakat.
Sebagaimana diketahui, konflik lahan di Desa Sungai Raya dan Kelurahan Sekip Hilir sudah berlangsung sejak 1994. Warga menggarap lahan secara turun-temurun dengan SKT yang dikeluarkan pemerintah desa. Berdasarkan UUPA, hak atas tanah memiliki fungsi sosial dan harus digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Masalah mencuat ketika pada tahun 2000, Kementerian Kehutanan dan Perkebunan mengeluarkan SK pelepasan kawasan hutan Paya Rumbai untuk PT Alam Sari Lestari (ASL). Dalam HGU yang terbit pada 2007, nama Desa Sungai Raya dan Kelurahan Sekip Hilir tidak ada tercantum.
Surat Kementerian ATR/BPN RI tahun 2012 menegaskan bahwa HGU PT. ASL tidak berada di wilayah Desa Sungai Raya, bahkan Kanwil BPN Riau sempat menyatakan HGU tersebut sebagai tanah terlantar.
Pada 2023, PT ASL dinyatakan pailit dan HGU dilelang, dimenangkan oleh PT Sinar Belilas Perkasa. Namun, alih-alih menyelesaikan hak warga, perusahaan baru justru melaporkan petani ke Polda Riau dengan tuduhan penyerobotan lahan dan pemalsuan dokumen. Sejumlah petani bahkan ditahan hingga 35 hari.
“Kami tidak menyerobot tanah. Kami mempertahankan lahan yang sudah puluhan tahun kami kelola, ini sumber hidup kami,” tegas perwakilan petani.