TELUK KUANTAN – Gubernur Riau, Abdul Wahid, mengawali sambutannya dalam apel gelar pasukan Operasi PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin) 2025 di Teluk Kuantan dengan sebuah petuah Melayu, “Tanah dan sungai adalah titipan leluhur, bukan milik pribadi.” Ia menekankan bahwa penambangan ilegal bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga ancaman serius bagi lingkungan, sosial, dan ekonomi Riau.
Menurutnya, penambangan ilegal telah mencemari sungai-sungai yang dulunya sumber kehidupan dan menggunduli hutan. Karena itu, Wahid menegaskan bahwa penanganan PETI harus terstruktur dan terukur.
“Kita butuh langkah yang sistematis, menyentuh akar persoalan, dan memberikan solusi jangka panjang,” ujarnya.
Wahid juga menyatakan bahwa penegakan hukum saja tidak cukup. Pemerintah harus hadir dengan solusi ekonomi alternatif yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat. Hal ini menunjukkan komitmen untuk menyeimbangkan penindakan dengan solusi bagi warga.
“Masyarakat harus diberikan pilihan yang lebih baik, yang legal, yang ramah lingkungan, dan yang dapat meningkatkan kesejahteraan,” kata Abdul Wahid.
Kolaborasi sebagai Kunci Sukses
Menurut Gubernur, kolaborasi adalah kunci utama penanganan PETI. Penanganan tidak bisa dilakukan oleh satu instansi saja, melainkan harus bergerak bersama.
Wahid juga menyinggung pentingnya menjaga citra budaya Riau. Ia berharap PETI tidak merusak citra daerah ini sebagai negeri yang menjunjung tinggi adat dan budaya Melayu, terutama dengan adanya wisata budaya seperti Pacu Jalur dan ekowisata.
“Riau tidak boleh dikenal karena tambang ilegal, tetapi karena keberanian kita menjaga alam dan hukum. Ini perjuangan kita bersama,” pungkasnya.