TELUK KUANTAN – Gemuruh irama pacu jalur di Kuantan Singingi (Kuansing) bukan sekadar riuh perlombaan, melainkan bisikan kuno dari rimba, cerita yang terukir pada setiap lekuk perahu, dan napas tradisi yang dijaga turun-temurun. Di balik tarian riang anak-anak di atas jalur yang viral, tersimpan kisah getir sekaligus magis tentang proses penciptaan mahakarya ini. Sebuah perjalanan panjang yang melibatkan pawang, pengorbanan, dan biaya yang tak sedikit, mencapai angka fantastis Rp150 juta untuk satu biduk yang panjangnya 30 hingga 40 meter.
Sejak jauh hari, sebelum arena Tepian Narosa bergemuruh antara tanggal 20 hingga 24 Agustus, jalur-jalur telah disiapkan dengan penuh ketelitian. Setiap goresan cat dan polesan akhir adalah cerminan dari dedikasi tak berbatas. Bahkan, setelah berpacu di tingkat rayon, jalur-jalur ini tak dibiarkan begitu saja; mereka kembali ke “kandang”, menerima sentuhan perawatan penuh kasih dari para pengurus, seolah perahu itu adalah makhluk hidup yang membutuhkan istirahat dan pemulihan.
Lahirnya “Badai Gangga”: Dari Hutan ke Tepian Narosa
Di Desa Koto, Teluk Kuantan, Kuantan Singingi, Riau, sebuah mahakarya baru telah lahir dari rahim hutan, yakni Jalur “Badai Gangga”. Nama yang sarat makna, sebuah harapan dan doa yang terlukis pada kayu kruing air. Beberapa hari ini, sentuhan akhir telah menyempurnakan “Badai Gangga”, yang kini telah dibalut dengan cat minyak dan dilukis mulus nan indah. Perahu panjang itu, siap untuk mengarungi derasnya Batang Kuantan yang membelah Kota Teluk Kuantan.
“Proses pembuatannya memakan waktu dua bulan penuh, mulai dari penebangan di hutan, penarikan, hingga akhirnya tiba di sini,” tutur Ketua Jalur Badai Gangga, Hendra, dengan sorot mata penuh bangga saat ditemui tim Media Center Riau di lokasi pada Rabu (16/7/2025). “Dahulu, penarikan kayu bisa dilakukan dengan tenaga masyarakat, namun kini tak memungkinkan lagi lantaran lokasi kayu di hutan terlalu jauh,” imbuh Hendra.
Ritual dan Pengorbanan di Balik Sebuah Jalur
Pencarian kayu bukanlah pekerjaan sembarangan. Warga, didampingi oleh pawang yang memahami seluk-beluk alam, menembus belantara mencari pohon yang tepat. Akhirnya, ditemukanlah sebatang pohon kruing air raksasa, dengan warna coklat kemerahan yang memukau dan serat lurus nan halus. Permukaannya agak licin, terkadang lengket, namun seratnya yang sangat padat menjamin kekuatan dan keawetan, tahan terhadap rayap dan segala cuaca.
Pohon itu kemudian dipotong sepanjang 39 meter di tengah hutan. Setelah tiba di kandang, kayu ini dipercayakan kepada para tukang khusus yang memahatnya dengan piawai menjadi jalur sepanjang 36,5 meter. Sebuah ukuran yang menjadikannya jalur terpanjang saat ini, karena rata-rata jalur lain hanya 31 hingga 35 meter.
“Jalur ini, kalau kayunya bagus, bisa bertahan sampai 20 atau 30 tahun. Tapi itu juga tergantung perawatannya, nanti kami siapkan rumah atau kandang, begitu kami menyebutnya di sini,” Hendra berujar.
Namun, Jalur Badai Gangga tak akan serta merta diturunkan ke Batang Kuantan. Rencananya, baru pada tanggal 28 Juli ia akan diuji coba dalam sebuah “melangka”, ritual awal yang sakral. Keputusan kapan jalur bisa mengarungi sungai dengan sempurna, sepenuhnya berada di tangan pawang, sang penjaga tradisi.
“Ada ritual ‘Melangka’ namanya, ini melibatkan pawang. Nantinya, pawanglah yang akan memberi tahu kapan jalur ini bisa diturunkan, kapan waktu yang paling tepat,” jelas Hendra, sembari memeriksa jalur yang dibuatnya.
Keterlibatan pawang tak hanya pada saat jalur akan turun. Sejak awal, dari pemilihan pohon di hutan, pawang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari proses ini. Ini adalah kearifan lokal yang sudah dilakukan turun temurun oleh masyarakat.
“Jadi, saat menebang jalur, dukun sudah ada. Pohon ini setelah ditebang, nanti akan diganti dengan ayam atau persembahan lainnya, itu semua keputusan dari pawang, karena pemilihan kayu ini pun bersama masyarakat dengan pawang,” ungkapnya.
Biaya Fantastis dan Identitas di Setiap Nama
Di balik kemegahan dan pesona Jalur “Badai Gangga”, tersimpan biaya yang tak sedikit, bahkan bisa dibilang fantastis. Hendra mengungkap bahwa untuk satu jalur, mulai dari pencarian kayu hingga siap berpacu, menghabiskan anggaran mencapai Rp150 juta.
“Biayanya sekitar Rp150 juta. Tebang kayu saja Rp10 juta, tarik pakai alat berat Rp50 juta, bawa dari hutan ke kampung Rp20 juta. Lalu untuk tukang, itu sekitar Rp30 juta karena ada tiga tukang yang bekerja,” rincinya.
Dengan panjang 36,5 meter, Jalur Badai Gangga mampu menampung 65 hingga 70 orang. Mereka terdiri dari berbagai peran, mulai dari anak pacuan yang mengayuh dayung, timbo ruang yang mengatur keseimbangan, penari cilik yang menghidupkan suasana, hingga tukang onjai yang menjadi penggerak semangat di bagian belakang.
Pemberian nama pada jalur-jalur pacu di Kuansing pun bukan hal sembarangan. Setiap nama sarat makna, dan seringkali berkaitan erat dengan kondisi alam atau peristiwa unik selama proses pembuatannya.
“Pemberian nama ini adalah hasil musyawarah seluruh masyarakat di sini. Pada tahun 60-an, nama jalur ini sudah ada, yakni Badai Gangga. Itulah yang kini kami bangkitkan kembali,” ujar Hendra berucap kepada Media Center Riau.
Tak jarang, nama jalur juga terinspirasi dari kejadian tak terduga. “Ada penamaan karena terjadi sesuatu saat pengambilan, misalnya saat kayu diambil datanglah burung elang, lalu diberi nama Elang Sakti. Bahkan, ada juga nama yang berasal dari penemuan unik atau nama hutan tempat kayu diambil. Ada juga yang menemukan ular tudung, lantas diberi nama Tudung Kuantan,” jelasnya.
Pencarian kayu sendiri adalah perjalanan yang sarat petualangan. Masyarakat biasanya menyusuri hutan pedalaman bersama pawang, yang memiliki kemampuan khusus untuk “memagar” anak pacuan agar tidak terjatuh selama perlombaan. Pada saat itulah, pawang dan masyarakat bermusyawarah, menentukan kapan waktu yang tepat untuk menebang kayu dan kapan jalur baru akan diturunkan.
“Jadi, kita mencari kayu itu sudah bawa pawang, setelah selesai pun pakai pawang. Pawang inilah yang menentukan, biasanya ada satu atau dua orang, baik laki-laki maupun perempuan. Tujuan pawang ini bermacam-macam, ada untuk memagar anak pacuan agar tidak jatuh,” tandas Hendra.