Potret LingkunganPotret PolitikPotret Riau

Penyelamatan Hutan dan Perhutanan Sosial di Riau Perlu Perhatian Serius

2
×

Penyelamatan Hutan dan Perhutanan Sosial di Riau Perlu Perhatian Serius

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi. (foto/goriau.com)

PEKANBARU – Koalisi Masyarakat Sipil Riau menyoroti dua sektor penting yang kerap terabaikan dalam penganggaran APBD Riau, yakni penyelamatan kawasan hutan dan lingkungan hidup, serta program perhutanan sosial.

Hal ini diungkapkan Arpiyan Sargita dari Jikalahari Riau dalam diskusi yang digelar Kamis (20/2/2025) di Pekanbaru. Menurutnya, kerusakan ekologis di Bumi Lancang Kuning semakin berdampak pada kehidupan masyarakat, terutama terkait banjir, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla), serta perambahan hutan yang beralih fungsi menjadi kebun sawit atau hutan tanaman industri (HTI).

“Masyarakat di sepanjang aliran Sungai Kampar mengeluhkan banjir tahunan, yang dulu hanya terjadi setiap lima tahun sekali. Hasil penelusuran kami menunjukkan bahwa daerah resapan air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kampar telah berubah dari hutan alami menjadi perkebunan sawit atau HTI,” paparnya.

Penelitian Jikalahari juga menunjukkan bahwa meskipun curah hujan di Riau relatif stabil dalam sepuluh tahun terakhir, frekuensi banjir justru meningkat akibat perubahan tutupan lahan.

Selain banjir kutip goriau.com, Karhutla masih menjadi ancaman serius, termasuk di awal tahun ini. Jikalahari menilai bahwa perhatian pemerintah terhadap lingkungan hidup dan hutan masih minim, terlihat dari alokasi anggaran yang sangat terbatas dalam APBD.

Kondisi ini juga memicu konflik antara manusia dan satwa liar, seperti Harimau Sumatera dan gajah. Sejak 2018, Jikalahari mencatat setidaknya 15 kejadian konflik antara masyarakat dan Harimau Sumatera di Semenanjung Kampar yang meliputi Kabupaten Pelalawan dan Siak, dengan 13 diantaranya menyebabkan korban jiwa.

“Gubernur Riau yang baru harus berani mengevaluasi izin Hak Guna Usaha (HGU) dan HTI yang diduga melanggar aturan. Jika perlu, mencabut izin perusahaan yang terbukti merusak lingkungan,” tegasnya.

Sementara itu, Besta Junandi, Direktur Perkumpulan Elang, menyoroti ketimpangan penguasaan hutan di Riau. Dari total luas hutan 5 juta hektare, sekitar 1,7 juta hektare dikuasai oleh perusahaan, sementara masyarakat hanya mendapatkan alokasi 168 ribu hektare dalam skema perhutanan sosial.

“Pemerintah Provinsi Riau menyebut angkanya sekitar 200 ribu hektare, tetapi kami lebih mempercayai data yang pertama,” ujarnya.

Ia juga menyoroti kurangnya dukungan pemerintah daerah terhadap program perhutanan sosial yang telah berjalan sejak 2016. Ia khawatir efisiensi anggaran yang dilakukan Pemprov Riau akan semakin mengurangi perhatian terhadap sektor ini.

“Banyak manfaat dari perhutanan sosial bagi masyarakat, terutama dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka. Jangan sampai efisiensi anggaran justru membuat perhatian terhadap sektor ini terus menurun,” pungkasnya. (***)