PekanbaruPotret Riau

Perpres Nomor 32 Tahun 2024 Dinilai Hancurkan Pers Indonesia

8
×

Perpres Nomor 32 Tahun 2024 Dinilai Hancurkan Pers Indonesia

Sebarkan artikel ini
Zulmansysh Sakedang saat memaparkan Perpres no 32 tahun 2024 di depan peserta. (Foto: Fin)

PEKANBARU – Wartawan senior sekaligus praktisi media, Wina Armada Sukardi SH menilai, hadirnya Perpres no 32 tahun 2024 tentang tanggung jawab perusahaan plattform digital untuk mendukung jurnalisme berkualitas, sama halnya dengan karpet merah kehancuran Pers Indonesia. Jika dilaksanakan maka akan menjadi blunder dan menggiring Pers Indonesia menuju replika rezim pers belenggu ala Orde Baru.

Hal itu dikemukakannya pada diskusi “Masa depan media pasca terbitnya Perpres publisher Rights” di Gedung Perpustakaan Soeman HS Jalan Sudirman Pekanbaru, Senin (29/4/2024).

“Perpres dibuat dengan filosofi dan metodologi yang salah dan sampai pada kesimpulan yang salah pula. Jika nanti dilaksanakan maka akan menjadi blunder dan menggiring pers Indonesia menuju replika rezim pers belenggu ala Orde Baru,” ujarnya.

Wina menilai Perpres tersebut mengaburkan dan menggabungkan kembali “code of publication” dengan “code of interprese” tepat seperti SIUPP dulu. Dan bertentangan dengan UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Ia mengatakan, dari judul Perpres tersebut saja sudah salah kaprah. Perpres no 32 tahun 2024 tentang tanggung jawab perusahaan platform untuk mendukung jurnalisme berkualitas, mengatur perusahaan atau mengatur substansi jurnalisme, sudah tidak jelas.

Wina pun mempertanyakan perusahaan platform yang tidak punya wartawan atau sie yang mengatur soal redaksi. Pantaskah dituntut tanggung jawab untuk mendukung jurnalisme yang berkualitas?

Menurut Wina, setiap redaksi memiliki karakter dan penilaian “berkualitas” sendiri-sendiri. Selain itu ada independensi news room yang tidak boleh dicampuri pihak lain. Kemudian karya “komersial” dan karya “bermutu” dalam jurnalistik dapat sama ada satu berita, tetapi dapat juga berbeda.

Di akhir makalahnya, Wina menilai publisher right ini merugikan perusahaan pers, perusahaan platform digital, melanggar UU Pers dan banyak pembuatan yang tidak jelas serta tidak kokoh. Selain itu, ia pun menyarankan Perpres ini dicabut saja karena tak ada guna untuk kemajuan Pers.

“Kalau pemerintah masih bersikukuh, diupayakan ada judial reviuw ke Mahkamah Agung,” pungkasnya.

Sementara anggota dewan pers Ketua Komisi Penelitian Pendataan dan Ratifikasi Pers, Atmaji Sapto Anggoro mengatakan, tujuan Perpres tersebut, mengatur tanggung jawab perusahaan plattform digital untuk mendukung jurnalisme berkualitas. Selain itu agar karya jurnalistik dihormati dan dihargai secara adil dan transparan.

Sedangkan dewan pakar SMSI Pusat Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat Zulmansyah Sakedang mengatakan, pihaknya menginginkan jurnalisme yang berkualitas jauh dari konten negatif dan mengedukasi untuk kemajuan Indonesia.

Mantan Ketua PWI Riau ini pun membeberkan kewajiban platform digital. Salah satunya melaksanakan pelatihan dan program yang ditunjukan untuk mendukung jurnalisme yang berkualitas dan bertanggung jawab. (fin)