KuansingPotret BisnisPotret Riau

Harga Selangit, Batik Kuansing Sulit Membumi

5
×

Harga Selangit, Batik Kuansing Sulit Membumi

Sebarkan artikel ini
Gubernur Riau Syamsuar bersama istri mengenakan batik khas Kuansing di Istana Presiden baru-baru ini. (foto: ist)

TELUKKUANTAN – Industri batik khas Kuantan Singingi (Kuansing), Riau sudah tumbuh dalam sepuluh tahun terakhir. Namun, batik Kuansing belum bisa berkembang seperti halnya daerah lain.

Kondisi ini tidak terlepas dari tingginya harga jual batik. Setiap helai kain batik Kuansing dijual dengan harga Rp500 ribu sampai Rp750 ribu. Harga tersebut belum masuk biaya jahit yang mencapai Rp200 ribu sampai Rp500 ribu.

Untuk memiliki batik Kuansing, setidaknya butuh anggaran sekitar Rp1 jutaan. Berbeda dengan baju batik yang dijual di pasaran, dengan Rp150 ribu sudah dapat kualitas premium.

Dengan kondisi ini, wajar bila batik Kuansing hanya bisa dimiliki oleh kalangan ekonomi menengah ke atas, seperti pegawai pemerintah dan pegawai swasta.

Dilansir goriau.com, Kepala Dinas Koperasi UKM Dagrin Kuansing Mardansyah mengakui bahwa batik Kuansing hanya bisa dimiliki oleh kalangan menengah ke atas.

“Situasi ini juga menjadi faktor kurang berkembangnya industri batik. Sebab, yang membeli itu-itu saja orangnya. PNS misalnya, mereka sudah punya lima set batik, tentu tak akan membeli lagi,” kata Mardansyah, Rabu (11/10/2023) siang di Telukkuantan.

“Sementara, masyarakat biasa tak akan mampu membeli batik Kuansing dengan harga segitu,” tambah Mardansyah.

Dikatakan Mardansyah, batik khas Kuansing merupakan batik yang dikerjakan oleh pelaku seni batik. Di Kuansing, ada 25 komunitas pebatik yang dibina pemerintah. Sejauh ini, pelaku usaha batik baru berjalan ketika ada pesanan.

“Faktor batik tulis ini membuat harga melambung, ditambah dengan bahan baku yang datang dari luar,” ujar Mardansyah.

Pemkab Kuansing sudah berupaya untuk memberikan arahan kepada pembatik supaya melakukan inovasi dalam mengembangkan batik. Namun, menurut Mardansyah, pemikiran itu belum sepenuhnya diterima oleh pembatik.

Inovasi yang ditawarkan oleh Pemkab Kuansing adalah batik cap. Dengan batik cap, tentunya bisa menekan harga untuk lebih mudah dijangkau masyarakat biasa.

“Mereka beranggapan, kalau batik cap, tentu tak bisa mempekerjakan karyawan lagi. Padahal, batik cap ini juga dikendalikan orang. Buat apa bikin batik tulis, tapi usaha tidak berkembang dan apa salahnya ada inovasi batik cap, karena potensinya lebih besar. Ini tantangan kami sebenarnya, bagaimana membuka pemikiran pembatik. Setidaknya produksi batik cap beriringan dengan batik tulis,” papar Mardansyah.

Di tengah usaha Pemkab Kuansing untuk mempromosikan batik, Diskop UKM Dagrin juga berusaha memberikan pembinaan secara merata. Mardansyah menegaskan tidak akan membiarkan adanya monopoli oleh salah satu pelaku usaha.

“Dalam pelbagai kegiatan, kita hadirkan batik Kuansing. Ini kita beli dari banyak pembatik, tidak satu saja. Kita pun sudah mengingatkan mereka, ini batik khas Kuansing, tidak ada punya si A atau si B. Silahkan mengembangkan motif sesuai kreativitas masing-masing,” kata Mardansyah.

Sejalan dengan itu, Pemkab Kuansing bertekad membumikan batik, terutama di dalam daerah. Menurut Mardansyah, pihaknya akan berkoordinasi dengan Disdikpora Kuansing, supaya batik menjadi pakaian wajib anak sekolah.

“Tentunya tak bisa batik tulis, karena harganya mahal. Kita akan coba pikirkan, bagaimana harga batik ini terjangkau dan bisa dijadikan pakaian wajib sekali dalam seminggu,” kata Mardansyah. (p24)