JAKARTA – Dana Moneter Internasional (IMF) memberi peringatan keras terhadap dampak kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) terhadap perbankan Indonesia. IMF juga mengkritisi perpanjangan program restrukturisasi kredit perbankan. IMF mengingatkan perpanjangan program restrukturisasi kredit bisa terus menumbuhkan ‘perusahaan zombie’.
Setelah hancur karena pandemi, sistem perbankan Indonesia tetap memiliki Capital Adequacy Ratio (CAR) atau rasio kecukupan modal yang memadai serta tidak terlalu terekspos oleh kenaikan dolar Amerika Serikat (AS).
Sebagai catatan, CAR perbankan Indonesia tercatat sebesar 25,54% pada April 2023. Namun, IMF mengingatkan jika kenaikan suku bunga acuan yang tinggi akan membuat banyak perusahaan tertekan dan berdampak ke sektor perbankan.
BI sudah mengerek suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 225 basis points (bps) dari 3,50% menjadi 5,75% sejak Agustus 2022. BI bahkan menaikkan suku bunga secara agresif yakni 50 bps selama tiga bulan beruntun pada September, Oktober, dan November 2022.
IMF menjelaskan banyak perusahaan yang sebelumnya sudah terdampak besar oleh pandemi Covid-19. Kenaikan suku bunga membuat perusahaan tersebut semakin tertekan.
Perusahaan tersebut utamanya bergerak pada sektor ritel, akomodasi, dan industri pengolahan.
“Rasio utang perusahaan memang terbilang rendah (38,4% dari Produk Domestik Bruto) tetapi analis kami menunjukkan perusahaan-perusahaan tersebut akan sangat sensitif terhadap dampak kenaikan suku bunga,” tulis IMF dalam laporannya.
Perusahaan yang rentan ini memiliki “risiko utang” dan memiliki interest coverage ratio (ICR) atau rasio cakupan bunga kurang dari 1%. ICR sendiri menghitung kemampuan operasi perusahaan menutupi beban bunga yang muncul akibat pinjaman dari eksternal. ICR aman bagi perusahaan adalah dua kali.
Menurut perhitungan IMF, jumlah perusahaan dengan ICR di bawah satu atau yang memiliki risiko utang naik dari 21% menjadi 28% dari total perusahaan yang disurvei.
Kenaikan jumlah perusahaan dengan ICR rendah tentu akan berdampak kepada perbankan yang menyalurkan kredit ke perusahaan tersebut. Perbankan Indonesia juga mesti bergulat dengan dampak dari kenaikan suku bunga.
Bank domestik sudah meningkatkan loan loss provisions atau cadangan kerugian atas penurunan nilai kredit (CKPN) untuk menjamin risiko atas kehilangan aset dan menyeimbangkan portofolio obligasi pemerintah dari available for sale (AFS) menjadi hold to maturity (HTM) untuk mengurangi kerugian.
Pada obligasi AFS, pemegang obligasi bisa menjual obligasi sewaktu-waktu sehingga obligasi dicatat pada harga pasar. Sementara itu, obligasi HTM hanya akan dijual pada saat jatuh tempo.
Per Januari 2023, perbankan nasional memegang 8,8% dari PDB aset Surat Berharga Negara (SBN). Lebih dari setengah atau 5,2% dari PDB dalam bentuk obligasi HTM.
Dengan menjual pada jatuh tempo, perbankan terhindari dari besarnya kerugian jika harga obligasi tengah jatuh.
IMF juga mencoba menghitung ketahanan risiko perbankan Tanah Air melalui Global Bank Stress Test (GST). Jika mempertimbangkan skenario shock yang merugikan di mana pertumbuhan ekonomi turun signifikan (hingga 3 percentage points) dari baseline, suku bunga naik hingga 200 bps dan harga aset turun (hingga 10%) maka CAR akan turun hingga 4,3 percentage points.
Hasil perhitungan menunjukkan jika bank Tanah Air masih tahan dan likuiditas memadai. Namun, tidak semua perbankan aman. Bank-bank dengan modal kecil dan menengah akan sangat rentan. Mereka memiliki share sekuritas AFS yang lebih besar, akses yang terbatas ke pasar obligasi, dan kurangnya penjaminan ke pasar uang.
IMF juga memberi peringatan mengenai program restrukturisasi kredit perbankan. Program tersebut merupakan bagian dari mitigasi risiko selama pandemi Covid-19.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah memperpanjang program tersebut hingga Maret 2024, dari rencana awak pada Maret 2023.
Namun, tidak semua sektor mendapatkan perpanjangan. Adapun segmen yang bisa mendapatkan perpanjangan restrukturisasi kredit memiliki kriteria antara lain:
1. Segmen UMKM yang mencakup seluruh sektor;
2. Sektor penyediaan akomodasi dan makan-minum;
3. Beberapa industri yang menyediakan lapangan kerja besar, yaitu industri tekstil dan produk tekstil (TPT) serta industri alas kaki.
IMF menjelaskan perpanjangan restrukturisasi kredit memang hanya berlaku untuk sejumlah sektor, termasuk UMKM. Dari peserta restrukturisasi kredit, 30% adalah UMKM. Namun, IMF mengingatkan jika pemulihan ekonomi yang sudah berjalan seharusnya mampu membuat perusahaan tersebut kuat.
“Pemulihan ekonomi sudah berjalan baik sehingga bank seharusnya memiliki posisi yang lebih baik dalam menghitung risiko kredit,” tulis IMF.
IMF menjelaskan jika otoritas terus bersabar agar perusahaan tersebut tumbuh baik maka hal itu justru bisa memunculkan perusahaan zombie. Pasalnya, perusahaan bisa tergantung ke utang sehingga malah tidak cepat bangkit.
“Memperpanjang (kesabaran) akan terus meningkatkan risiko moral hazard, penundaan pengakuan kerugian dan memperpanjang eksistensi perusahaan zombie,” tambah IMF.
Perusahaan zombie sendiri merujuk pada perusahaan yang menggantungkan kebutuhannya pada dana talangan agar bisa beroperasi. Perusahaan mampu membayar bunga tetapi tidak mampu melunasi pokok utang.
Seperti zombie, perusahaan tersebut sebenarnya tidak bisa beroperasi apalagi untung tetapi tetap beroperasi dengan bergantung ke utang.
“Kami merekomendasikan restrukturisasi kredit tidak diperpanjang lagi jika batas perpanjangan Maret 2024 berakhir. Kami berharap otoritas meningkatkan pengawasan tajam mengenai restrukturisasi kredit utang,” tulis IMF seperti dilansir cnbcindonesia. (win)