Potret24.com-Bertepatan dengan Tahun Baru Hijiriah 1444, HUT Provinsi Riau ke 65 dan Hari Adat Sedunia, Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) menggelar upacara Tegak Tonggol Panji Kebesaran Adat di Balai Adat Melayu Riau Jalan Diponegoro Kota Pekanbaru, Selasa (9/8/22).
Tonggol adalah sebutan untuk alat kebesaran adat diberbagai kawasan di Riau, selalu berbentuk panji, sehingga disebut juga sebagai panji adat. Pada waktu-waktu tertentu, biasanya pada acara adat menyambut atau merayakan hari besar Islam, tonggol tersebut ditegakkan, sehingga dikenallah istilah togak tonggol.
Di antara kegiatan tegak tonggol yang terkenal, terdapat di Langgam, Pelalawan, menyusul dijadikannya kegiatan tersebut sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia tahun 2020. Tonggol dimiliki oleh perangkat adat yaitu batin, penghulu, dan ketiapan (pembantu batin).
Masing-masing memiliki tonggol dengan warna-warna khas yang membedakan satu dengan lainnya. Tonggol diwariskan secara turun temurun dan menjadi alat kebesaran. Setiap tonggol disimpan di rumah suku dari pejabat adat yang menjabat atau disebut dengan rumah soko. Tonggol adalah milik suku, setiap tonggol mewakili suku.
LAMR coba mengadopsi tradisi tersebut sebagai suatu kegiatan yang senapas dengan tradisi dari berbagai kawasan. Maka dipilihlah warna khas Riau yakni merah, kuning, dan hijau, yang sudah disepakati sejak lama sebagai warna panji, kemudian ditambah warna putih. Keempatnya memiliki makna khas yang tidak saja dipandang dari segi warna, tetapi juga angka yang menyertainya.
Warna merah misalnya melambangkan nilai keberanian, kuning menyimbolkan kemegahan, hijau menyimbolkan kesuburan, sedangkan putih menyimbolkan kesucian. Keempatnya dipayungi oleh norma maupun gagasan-gagasan yang selalu disebut adat. Berani memang harus diatur, contohnya bagaimana keberanian tidak dipergunakan untuk hal-hal negatif.
Begitu juga kesuburan yang setara dengan kemakmuran, harus dapat dikendalikan sebagai rahmat dari Yang Maha Esa, sehingga tidak bisa dipergunakan semena-mena. Empat warna dengan empat gantungan, menunjukkan angka yang selalu muncul dalam alam Melayu.
Dalam Gurindam XII, Raja Ali Haji mengatakan, “Barangsiapa kenal yang empat/ tahulah dia dunia mudarat”. Banyak orang mengatakan bahwa empat di sini bermakna syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat.
Dalam sistem pemerintahan Kedatuan Sriwijaya, pertemuan empat suku dapat membentuk suatu pemerintahan yang dapat tercermin pada posisi empat suku di Siak Sri Indrapura. Malahan, serba empat ini pulalah yang diperlihatkan oleh pantun, terdiri atas empat baris.
Melihat dari makna yang dikandungnya, tidak heran kalau tonggul dinilai sebagai sesuatu yang istimewa. Keberadaannya menunjukkan marwah, sehingga harus dibela. Tentu saja yang dibela itu bukan bendanya, tetapi nilai yang dikandungnya.
Upacara ini dipimpin langsung oleh Ketum Majelis Kerapatan Adat (MKA) Datuk Seri H Marjohan Yusuf dan disaksikan oleh Ketum Dewan Pengurus Harian (DPH) Datuk Seri Taufik Ikram Jamil, para pengurus LAM, Sultan Pelalawan, unsur Forkopinda Provinsi Riau, Ketua FKPMR DR Chaidir MM, Ormas Laskar Melayu serta dari Pemprov Riau.
Dalam sambutannya, Datuk Seri Marjohan Yusuf mengatakan upacara Tegak Tonggul Payung Panji Kebesaran Adat Lembaga Adat Melayu Riau ini bermakna, marwah Bangsa Melayu dengan keragaman adat budaya dan tradisi harus tetap berdiri tegak.
“Runtuhnya marwah sama artinya dengan kehilangan identitas. Kehilangan identitas sama artinya dengan kehinaan. Itulah sebabnya bagi bangsa Melayu, bila marwah sudah diganggu maka sekuat dapat akan tetap menegakkannya dengan cara apapun. Mujur Lalu Melintang Patah, lebih baik berputih tulang daripada berputih mata,” jelas Datuk Seri Raja Marjohan Yusuf.
Dikatakan Datuk Seri, LAMR oleh pendirinya, adalah sebagai lembaga yang bertujuan untuk menjulang adat budaya Melayu di Riau. Karena itu Lembaga Adat Melayu Riau akan berupaya melakukan pendataan menyeluruh tentang tatanan adat yang mungkin selama ini tergerus atau tenggelam oleh hantaman globalisasi.
“Betapa globalisasi menjadikan kehidupan tanpa sekatan ruang dan waktu. Globalisasi itu hadir saat negeri ini terlena dan lupa bahwa adat budayalah sebagai penyaringnya. Akankah kita tetap terlena dan membiarkan anak kemenakan dan cucu kita hidup tanpa sekatan adab, akhlak dan adat? ,” tanya Datuk Seri.
LAMR dimanapun di negeri bernama Riau ini, tidak menginginkannya, lanjut Datuk Seri bahkan LAMR telah menetapkan gong perjuangan Lembaga Adat Melayu Riau “Membangkitkan Batang Terendam”. Adat dan tradisi dari berbagai puak Melayu di Riau, misalnya puak pesisir dengan
keragamannya, puak daratan dengan keragamannya dan pucuk jala pumpunan tali lembaga ataupun kerapatan adat diberbagai puak itu harus disokong, diperkuat dan kita dorong untuk membangkitkan “batang terendam” tersebut,” ucapnya.
Menurutnya Jala Pumpunan Tali dalam masyarakat adat itulah yang lebih tahu tentang adatnya, “Bukan kita. Biarkan mereka dengan ke-otonomi-annya. Jangan coba-coba merusak tatanan adat yang sudah mereka pelihara dan jaga secara turun-temurun,” kata Datuk Seri Marjohan.
Lebih jauh dikatakan Datuk Seri Marjohan, Bangsa Melayu memanglah sangat terbuka bagi pendatang dan tidak pernah merasa kebanyakan orang. Dalam system adat Melayu dikatakan “dagang lalu dikabikkan”. Kemudian anak dagang itu dicarikan sandaran datuk adatnya agar keberadaannya dijaga oleh system adat dinegeri itu.
Karakter bangsa Melayu bukan hanya terbuka terhadap kaum yang datang tapi juga membelanya sepanjang kaum yang datang itu mengikuti amanah Melayu, “Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Di mana air disauk disitu ranting dipatahkan.” Artinya ikutilah tatanan masyarakat adat setempat. Jika tidak, maka ada system adat bangsa Melayu untuk memberi sangsi. Sangsi itu pada tingkatyang lebih tinggi dapat berupa aruk dan puncaknya adalah amuk. Akhirnya siapakah yang menjadi pagar negeri agar payung panji adat dan budaya Melayu itu tetap bermarwah? Anak kemenakanlah pelapis dada datuk-datuk adatnya. Anak kemenakanlah yang penutup malu dan aib.
“Melayu adalah bagian dari pelapis dada dan pagar negeri. Sebaliknya Datuk-datuk adatlah pembayar hutang anak kemenakannya. Datuk-datuklah yang mengurus anak kemenakannya. Sepanjang saling mengetahui alur dan patut dalam hidup beradat dan berbudaya maka apa yang disampaikan Laksama Hang Tuah “Tak kan Melayu Hilang di Bumi” akan tetap tegak dan bermarwah. Usai menyampaikan petuah, Datuk Seri Raja Marjohan Yusuf bersama jajaran pengurus, Forkopinda bersama-sama menegakkan tonggol Panji Kebesaran Adat di Balai Adat Melayu Riau.