Pekanbaru

Rindu Walikota Pekanbaru Seperti Sosok Umar Bin Khatab

3
×

Rindu Walikota Pekanbaru Seperti Sosok Umar Bin Khatab

Sebarkan artikel ini
Hari ini masak batu

Potret24.com, Pekanbaru – Keluarga Muradi di Rumbai Pesisir hidup di tengah kemiskinan. Sang kepala rumah tangga yang awalnya bekerja sebagai pelaku ojek online harus berpikir panjang.

“Ojek online tak bisa lagi jadi sandaran hidup. Pendapatan yang berkurang terus dari hari ke hari menjadi alasan. Tapi melihat kondisi yang miris, saya tak tahu harus berbuat apa,” katanya tanpa bisa menampakkan keluhannya.

Hari ini tambah Muradi uangnya yang ada di tangan bersisa Rp35 ribu. “Uang itu mau kami belikan seikat sayuran dan sejumlah mie instans. Cukuplah untuk makan saya, istri dan dua orang anak untuk hari ini,” katanya pilu.

Dikatakannya lagi kalau hari ini tidak dapat uang, otomatis besok dirinya dan keluarga tak lagi makan. “Positif besok tak lagi makan kalau hari ini tidak dapat uang. Kalau saya dah biasa tak makan. Tapi anak-anak gimana Bang,” katanya sambil mengisap rokoknya yang tinggal sebatang.

Kondisi prihatinnya kehidupan Muradi sama sekali tak berhasil mengetuk hati para pejabat di Kota Pekanbaru. “Mereka hanya sibuk mengurus proyek yang bisa menjamin dapur mereka tetap ngepul. Dan ketika ditanyakan bantuan untuk warga miskin, Walikota Pekanbaru dengan lantang mengatakan, Pitih tak ado do lai, ” ujar pengamat masyarakat urban di Pekanbaru, Slamet Hasan.

Dirinya menilai Walikota Pekanbaru merupakan sosok yang sangat tidak peduli dengan kondisi masyarakatnya. “Ini contoh Walikota yang sama sekali tidak peduli dengan kondisi masyarakatnya. Di mana hati nuraninya saat masyarakatnya kelaparan dan hidup dengan kesusahan,” katanya lagi.

Slamet Hasan menambahkan, kepedulian para pejabat Pemko Pekanbaru sangat minim. “Mereka dituding hidup dengan kemewahan di tengah penderitaan masyarakat. Apa perasaan mereka ada warga Pekanbaru yang sampai tidak bisa makan karena sudah tidak ada lagi yang bisa dimasak. Atau seperti cerita di zaman Khalifah Umar Bin Khatab yang warganya sempat memasak batu demi mendiamkan anaknya karena kelaparan. Menangis beliau mendapati masih ada warganya yang kelaparan.”

“Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan Khalifah Umar bin Khatab. Dia tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi atau belum,” kata Slamet menirukan ucapan perempuan itu.

“Namun apa dayaku? Sungguh Umar bin Khattab tidak pantas jadi pemimpin. Dia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya,” lanjut perempuan itu.

Perempuan itu tidak tahu jika yang dihadapannya adalah Khalifah Umar.

Mendengar semua itu, Aslam sempat hendak menegur tetapi dicegah oleh Umar.

Umar lantas menitikkan air mata.

Ia segera bangkit lalu mengajak Aslam kembali ke Madinah.

Sampai di Madinah, Umar segera pergi ke Baitul Mal dan mengambil sekarung gandum.

Umar langsung mengangkut karung gandum tersebut di pinggangnya.

“Wahai amirul mukminin, biarlah aku yang memikul karung itu,” kata Aslam mencegah Umar.

Wajah Umar marah padam.

“Aslam, jangan jerumuskan aku ke dalam neraka. Kau akan menggantikan aku memikul beban ini, apakah kau mau memikul beban di pundakku ini di Hari Pembalasan kelak?” kata Umar dengan nada tinggi.

Aslam tertunduk mendengar perkataan Khalifah Umar.

Sembari terseok-seok, Khalifah Umar mengangkat karung itu dan diantarkan ke gubuk tempat tinggal perempuan itu.

Sesampai di sana, Umar meminta Aslam membantunya menyiapkan makanan.

Umar sendiri yang memasak makanannya.

Setelah matang, Umar segera mengajak keluarga miskin tersebut makan.

Melihat mereka bisa makan, Umar pun merasa tenang.

Umar kemudian pamit.

Ia meminta perempuan itu esoknya menemui Khalifah Umar di kediamannya.

“Berkatalah yang baik-baik. Besok temuilah amirul mukminin dan kau bisa temui aku juga di sana. Insya Allah dia akan mencukupimu,” kata Umar sebelum pergi.

Keesokan harinya, perempuan itu pergi menemui Khalifah Umar bin Khattab.

Perempuan itu kaget.

Sebab sosok amirul mukminin yang kemarin telah memasakkan makanan untuk dia dan anaknya.

“Aku mohon maaf. Aku telah menyumpahi dengan kata-kata dzalim kepada engkau. Aku siap dihukum,” kata perempuan itu.

“Ibu tidak bersalah, akulah yang bersalah. Aku berdosa membiarkan seorang ibu dan anak kelaparan di wilayah kekuasaanku. Bagaimana aku mempertanggungjawabkan ini di hadapan Allah? Maafkan aku, ibu,” kata Khalifah Umar.

Begitulah kisah Umar bin Khattab yang takut masuk neraka karena menelantarkan rakyatnya.

Ia begitu sedih karena ternyata ada rakyatnya di daerah terpencil yang tidak sejahtera.

Ia pun takut apabila di hadapan Allah ia dinyatakan tidak adil.

Hingga Umar memutuskan sendiri mengangkat sekarung gandung sebagai rasa bersalahnya. (gr)