Potret24.com, Jakarta – Ratusan siswi Afghanistan, pengajar dan staf di satu-satunya sekolah asrama putri di negara tersebut akan dievakuasi ke Rwanda. Evakuasi dilakukan menyusul pengambilalihan oleh Taliban awal bulan ini.
Seperti diberitakan kantor berita AFP, Rabu (25/8/2021), kelompok Taliban telah menjanjikan jenis aturan yang berbeda dengan rezim brutal mereka pada tahun 1990-an, yang membuat anak-anak perempuan dilarang bersekolah, perempuan dikurung di rumah mereka, sebagian besar hiburan dilarang, dan penerapan rajam dan eksekusi di depan publik sebagai hukuman.
Shabana Basij-Rasikh, pendiri sekolah asrama putri, School of Leadership, Afghanistan (SOLA) yang dikelola swasta mengatakan bahwa hampir 250 siswa remaja, pengajar, staf, dan anggota keluarga akan pindah ke Rwanda untuk melanjutkan pendidikan mereka selama beberapa bulan ke depan.
“Semua orang sedang dalam perjalanan, melalui Qatar, ke negara Rwanda di mana kami bermaksud untuk memulai satu semester di luar negeri untuk seluruh pelajar kami,” katanya di Twitter.
“Ketika keadaan di lapangan mengizinkan, kami berharap bisa pulang ke Afghanistan,” imbuh Basij-Rasikh.
Di Kigali, juru bicara pemerintah Rwanda, Yolande Makolo membenarkan kabar tersebut.
“Kami menyambut komunitas SOLA ke Rwanda. Kami menghormati permintaan privasi mereka sehingga tidak akan ada komentar lebih lanjut saat ini,” katanya kepada AFP.
Beberapa hari sebelumnya, Basij-Rasikh mengatakan dia telah membakar catatan pendidikan murid-muridnya, dalam upaya “untuk melindungi mereka dan keluarga mereka”.
“Siswa saya, kolega, dan saya aman … Tapi sekarang, ada banyak yang tidak atau semakin tidak merasa aman. Saya bersedih untuk mereka,” tulisnya di situs web sekolah.
Kepala hak asasi PBB memperingatkan pada hari Selasa (24/8) bahwa perlakuan Taliban terhadap perempuan dan anak perempuan adalah “garis merah mendasar”.
Berbicara pada pembukaan sesi darurat mengenai Afghanistan, Michelle Bachelet mendesak Taliban untuk menepati komitmen mereka untuk menghormati hak-hak perempuan dan anak perempuan, serta etnis-etnis dan agama minoritas, dan tidak melakukan pembalasan.
“Tanggung jawab sekarang sepenuhnya ada pada Taliban untuk menerjemahkan komitmen ini menjadi kenyataan,” katanya.
Bachelet menambahkan bahwa kantornya telah menerima laporan yang kredibel tentang pelanggaran-pelanggaran serius di tempat-tempat yang berada di bawah kendali Taliban, termasuk eksekusi, pembatasan hak-hak perempuan, pelarangan anak perempuan untuk bersekolah dan perekrutan prajurit anak. (gr)