Potret24.com, Bandung – Informasi dalam artikel ini tidak ditujukan untuk menginspirasi siapa pun untuk melakukan tindakan serupa. Bila Anda, pembaca, merasakan gejala depresi dengan kecenderungan berupa pemikiran untuk bunuh diri, segera konsultasikan persoalan Anda ke pihak-pihak yang dapat membantu, seperti psikolog, psikiater, ataupun klinik kesehatan mental.
Civitas akademia Institut Teknologi Bandung (ITB) berduka karena kabar meninggalnya mahasiswa S2 Teknik Sipil, berinisial AN pada Minggu (22/8/2021). Pakar kejiwaan dari RS Melinda 2 Bandung dr Teddy Hidayat mengungkap angka gejala depresi pada mahasiswa terbilang tinggi.
Hal itu berdasarkan Survey Ruang Empati yang bekerja sama dengan FK Unjani terhadap 1.800 mahasiswa dari seluruh Indonesia. Survey yang dilakukan secara daring dengan menggunakan instrumen DASS-21 dari Juni-Agustus 2021 itu muncul angka gejala depresi antara 47-50 persen.
“Kenaikkan angka depresi yang demikian tinggi dibandingkan awal pandemi yaitu 25 persen atau dengan angka Riskesdas Kemenkes RI 2018 yaitu 6,1 persen sudah dapat disebut sebagai krisis kesehatan mental,” ujar Teddy dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom, Senin (23/8/2021).
Teddy mengatakan kondisi kesehatan mental dan emosional mahasiswa ini memerlukan tanggung jawab dari perguruan tinggi terhadap keamanan dan keselamatan mahasiswanya selama menjalani studi, minimal tersedianya layanan Mental Health First Aid (MHFA) atau pertolongan pertama pada krisis mental dan pencegahan bunuh diri.
“Bila ada mahasiswa yang membutuhkan bantuan dapat segera dengan mudah mendapatkan pertolongan. Bunuh diri seharusnya dapat dicegah yaitu dengan memberi pertolongan. Kemampuan seseorang dalam mendeteksi tanda-tanda peringatan bunuh diri pada individu sangat penting untuk memulai pertolongan pertama bunuh diri,” ujar Teddy.
Teddy menjelaskan, dari pengalaman klinik umumnya pasien depresi datang ke klinik sudah dalam kondisi parah. 40 persen mempunyai ide bunuh diri dan 15 persen mencoba melakukannya. Walau demikian, ujar Teddy, bunuh diri bukanlah suatu kelemahan atau karakter tapi suatu penyakit yang dapat dicegah dan diobati.
“Banyak mahasiswa depresi setelah menjalani terapi optimal dapat menyelesaikan studinya dengan baik, ada beberapa mencapai prestasi akademis ‘cum laude’ dan bahkan mendapat penghargaan internasional,” ujarnya.
“Fakta menunjukkan meskipun banyak Perguruan Tinggi memiliki fasilitas layanan seperti Klinik Kampus atau Bimbingan Konseling, namun umumnya masih mengalami kesulitan dalam menentukan diagnosa dan memberi terapi awal gangguan jiwa, sehingga tidak terdeteksi, tidak diobati, menjadi kronis akhirnya meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Dalam studi prestasi akademis menurun, prestasi akademis rendah, studi terlambat dari yang seharusnya dan terancam drop out,” kata Teddy.
Saran Pakar Kejiwaan
Teddy mengatakan, jika ada seseorang yang berbicara tentang keinginan mengakhiri hidup atau mengancam akan mencelakai atau bunuh diri; menulis tentang kematian atau ide bunuh diri, sebaiknya segera menghubungi rumah sakit atau profesional.
“Bunuh diri adalah masalah kemanusiaan yang serius, setiap 40 detik satu orang meninggal karena tindakan bunuh diri (WHO). Angka bunuh diri dengan risiko kematian lebih tinggi terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan,” katanya.
Seperti diketahui AN merupakan mahasiswa S2 yang masuk pada tahun 2018. Ia ditemukan menggantung tak bernyawa di sekitar indekosnya yang berada di Jl Cisitu Lama Indah, Bandung.
Berkaca dari kasus meninggalnya AN, Teddy mengatakan kolega terdekat atau siapapun yang mengetahui kondisi psikis korban wajib untuk memberikan pertolongan.
“Karena tidak ada seorangpun yang datang memberi bantuan akhirnya pelaku melakukannya. Setelah peristiwa ini perlu upaya pencegahan dan pengawasan baik dari keluarga atau kampus, karena tidak jarang kasus bunuh diri akan memicu kasus-kasus lainnya, terutama pada kelompok rentan,” ujar Teddy.
Ia pun menyarankan sejumlah cara atau pendekatan kepada korban yang rentan melakukan bunuh diri, yaitu :
1. Jangan tinggalkan klien seorang sendiri, tempatkan di tempat yang aman, singkirkan benda yang berpotensi untuk mencelakai diri
2. Dengarkan dan dengarkan, jangan cepat memberi nasihat
3. Berikan empati yaitu memahami pasien, tanyakan apa yang dirasakan dan alasan ingin mengakhiri hidup
4. Jangan menyalahkan atau membandingkan
5. Bantu dan dampingi untuk mendapatkan pelayanan tenaga ahli (gr)