Potret24.com, Pekanbaru – Penasehat hukum mantan Sekdaprov Riau Yan Prana Jaya, Alhendri Tanjung, SH, MH berharap putusan yang adil majelis hakim yang rencananya akan digelar, Kamis (29/07/2021).
Dijelaskannya ketika dihubungi potret24.com, pihaknya berharap majelis hakim sependapat dengan dalil dalil berdasarkan teori hukum, pendapat ahli dan fakta persidangan. Karena dalam persidangan tim Penasehat Hukum Yan Prana memaparkan secara konkret tentang analisis yuridis pada unsur unsur pasal 2 sebagai mana pada dakwaan primer JPU.
“Sesuai pledoi kita, pada unsur kedua pasal 2 UU Tipikor, tidak terbukti ada unsur perbuatan melawan hukum. Artinya
- Dalam dakwaan pemotongan SPPD 10 persen, tahun 2013 s/d 2017, itu adalah sebuah diskresi yang disepakati oleh seluruh ASN yang melakukan perjalanan dinas (tidak fiktif) untuk membiayai kegiatan yang tidak bisa dianggarkan.
-
Pihak Yan Prana sama sekali tidak pernah ada menerima penolakan maupun komplain baik lisan maupun tulisan dari ASN.
Selain itu tambah Alhendri lagi, besaran anggaran SPPD telah sesuai dengan standar Pembayaran honor dan jasa yang ditetapkan dalam peraturan Bupati Siak.
Menurutnya lagi, setiap tahun pemotongan terjadi ketika pembayaran dilakukan yaitu setelah semua syarat dalam SPJ SPPD diverifikasi dan dan disetujui Bendahara dan PPK.
Selain itu menurut ahli yang dihadirkan dalam persidangan, demarkasi atau batas / limit dikatakan bahwa posisi uang yang dipotong tersebut apakah masih uang negara (publik domein) atau kah sudah bukan lagi uang negara atau sudah menjadi hak para ASN yang melakukan perjalanan dinas (private domain).
“Ketika SPJ SPPD disetujui dan ditanda tangani. Itu sama saja artinya SPJ adalah pengajuan piutang mereka pada negara dimana dalam SPPD para ASN memakai uang pribadi terlebih dahulu. Setelah melakukan perjalanan dinas, barulah kemudian ditagih dan disetujui. Jadi jelas yang dipotong ketika pembayaran tersebut bukanlah uang negara,” katanya menjelaskan.
Ditegaskannya lagi, dalil tersebut membuktikan tidak ada atau tidak terbukti unsur kerugian negara dalam pemotongan SPPD.
Terkait persoalan ATK, Alhendri memaparkan tidak ada bukti nyata dalam persidangan bahwa terdakwa yang melakukannya.
“Fakta persidangan mengatakan yang mengisi kwitansi kosong serta penunjukan rekanan dilakukan para saksi terkait tanpa sepengetahuan terdakwa,” tegasnya menjelaskan.
Selain itu tambah Alhendri lagi, pihak ke 3 yakni penyedia barang jasa dalam persidangan mengakui tidak mengenal terdakwa.
Fakta berikutnya tambah Alhendri, terkait makan dan minum ternyata dalil JPU tentang keharusan terdakwa harus berpedoman pada Permenkeu dalam melaksanakan anggara makan minum telah terbantahkan.
Hal ini berdasarkan regulasi Permendagri no 21 tahun 2011 yang memasukan item pengadaan makan minum dalam pengadaan langsung barang dan jasa.
Sehingga terhadap item makan minum, secara regulasi terdakwa jelas dan mengacu dengan dasar hukum dan regulasi yang bisa dipertanggungjawabkan.
Pihaknya menilai dakwaan JPU dalam makan minum yang dihitung secara total loss dari tahun 2013 s/d 2017 adalah keliru dan tidak berdasarkan hukum.
Dalam kesempatan ini Alhendri mempertanyakan fakta-fakta prosedural formal yang banyak bertentangan dengan hukum. “Seperti tidak jelas nya kewenangan inspektorat Kota Pekanbaru secara kelembagaan yang dipakai untuk mengaudit Bappeda Kabupaten Siak,” katanya menambahkan.
Pihaknya menilai ada kekeliruan penafsiran JPU tentang kewenangan penyidik/JPU menunjuk lembaga inspektorat Kota Pekanbaru berdasarkan putusan MK no 31/ PUU tahun 2012. Karena putusan MK dimaksud hanya merujuk pada KPK bukan pada Kejaksaan.
Terakhir pihaknya menilai unsur perbuatan melawan hukum dan kerugian negara sangat tidak meyakinkan. Atas pertimbangan tersebut pihaknya selaku Penasehat Hukum terdakwa Yan Prana Jaya, pihaknya meminta hukuman seadil-adilnya bisa diterapkan. (gr)