Potret24.com, Jakarta – PAN menyatakan tak berminat bergabung dengan poros partai Islam untuk Pemilu 2024. Ketua DPP PAN, Mumtaz Rais, menilai politik aliran, seperti pemisahan santri abangan dan priayi, sudah tak lagi relevan saat ini.
“Karena politik aliran seperti pengotak-ngotakan antara santri abangan dan priayi itu sudah teori agak jadul, itu sudah usang, itu buku politik yang aku baca dulu. Jadi kalau diterapkan lagi di zaman yang sudah YouTube, Facebook, Twitter gini sebenarnya sudah nggak akan korelatif lagi,” kata Mumtaz, kepada detikcom, Jumat (16/4/2021).
“Jadi kalau aku lebih ke situ, itu teori bukunya Clifford Greetz, itu dulu keren, viral banget, politik santri abangan priayi gitu. Tapi kalau diterapkan di zaman yang sudah era informasi mengalir ini dengan keterbukaan informasi, sepertinya politik itu udah nggak laku lagi, udah old school ibaratnya,” lanjutnya.
Mumtaz mengingatkan poros Islam sudah pernah mencapai kejayaannya. Ketika itu, poros Islam diwakili poros tengah dengan Amien Rais sebagai pencetusnya.
Mumtaz menilai kejayaan poros tengah tidak akan terulang. Dia mengibaratkan Argentina dengan Maradona, kini berganti Messi.
“Poros Islam pernah mencapai titik kehebatannya, di puncak kejayaannya itu adalah dulu digawangi oleh Amien Rais di poros tengah, dan ketika zaman itu akan mencapai di titik puncak keemasannya, maka akan sangat susah lagi terulang. Ibarat kata Argentina dengan Maradona-nya pernah di pucuk dunia sekarang dengan Messi tetap nggak pernah akan bisa terulang lagi,” papar Mumtaz.
“Jadi untuk kemudian PKS-PPP mencoba mulai itu sudah susah, tidak akan bisa terulang artinya masa keemasan dan manisnya sejarah itu tidak akan bisa terulang apapun itu, kecuali mencoba untuk mengekor bisa tapi apa kemudian berhasil itu susah. Untuk kesana sudah jauh dari panggang api,” imbuhnya.
Selain itu, kata Mumtaz, agar partai Islam menjadi satu, dibutuhkan juga seseorang yang menjadi perekat. Saat ini dia tidak melihat adanya sosok yang bisa menjadi perekat. Mumtaz melihat justru adanya ego sektoral partai Islam tersebut.
“Dibutuhkan juga tokoh perekatnya yang bisa merangkul, hari ini kita belum melihat, kalau dulu kan ada Amien Rais. Coba kita lihat, mana yang terlihat sebagai perekat? Tidak ada, masih ada ego sektoral di antara ketum partai-partai itu, nanti Cak Imin (Ketum PKB) yang mau jadi sentralnya, nanti Syaikhu (Presiden PKS) juga pengen jadi sentral,” ujarnya.
Dia lantas bercerita terkait poros tengah yang bisa bersatu di era Amien Rais. Semua partai kata dia saat itu benar-benar bermusyawarah untuk satu tujuan, sehingga memutuskan Amien Rais menjadi sentralnya.
“Kalau dulu kan berembug betul itu, berembug duduk bareng kemudian ikhlas memilih Amien Rais sebagai tokoh sentralnya dan kemudian Gus Dur yang dimajukan sebagai presiden. Sekarang saya tidak melihat kekompakan di antara para ketua umum partai Islam ini, masih ada ego sektoral yang sangat kentara sekali. Jadi kejayaan poros Islam kaya poros tengah akan sulit berulang,” ujarnya.
Lebih lanjut, Mumtaz mengatakan harus ada seseorang yang juga bisa menghitung detail aspek elektoral. Dia lantas mengatakan poros Islam ditambah Golkar dan PAN pun, belum tentu bisa mencapai puncak.
“Selain perekat kemudian dibutuhkan juga teknokrat yang menghitung probabilitas persen dan sejumlah kursi yang mungkin akan bisa di engineer untuk pemenangan mereka, nah itu digunakan teknokrat, dulu Amien Rais tidak sendirian. Dulu itu di bawah Amien Rais ada Bambang Sudibyo mantan Menkeu. Jadi dulu ada mantan menkeu dan mendiknas yang menghitung secara rinci angka per angka persentase jika digabung, akan kah kita menghasilkan parlemen nah itu ada hitungannya,” ujarnya.
“Hari ini kita bisa menghitung juga tuh PPP-PKS, ditambah PKB, PBB, dikasih Golkar aja kalah. Misal suara PAN digabung dengan Golkar digabung, itu tidak bisa ngungggulin juga,” tuturnya. (gr)