Potret24.com, Pekanbaru – Polemik pengangkutan sampah belum juga kunjung usai. Dari mulai habisnya masa kontrak dengan pihak ketiga akhir 2020 lalu hingga masalah anggaran.
Anggota Komisi IV DPRD Kota Pekanbaru, Roni Pasla mengatakan, Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru menganggarkan Rp 45 miliar untuk swastanisasi pengangkutan sampah selama 12 bulan. Saat ini berkurang menjadi Rp 43 miliar untuk sembilan bulan.
“Berkurangnya bulan tersebut karena dua kali proses lelang selalu gagal,” katanya kepada wartawan.
Sementara itu proses pendaftaran lelang pengangkutan sampah saat ini sudah ditutup oleh Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Pekanbaru.
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini juga mengatakan, Komisi IV meminta DLHK Pekanbaru terlebih dahulu untuk melakukan presentasi penggunaan anggaran Rp 43 miliar tersebut.
“Rapat semalam mereka (DLHK) belum siap, kemudian diundur sehari tapi PLT DLHK ada kegiatan di Batam. Maka kita jadwalkan ulang di hari Senin atau Selasa pekan depan, kita minta mereka memaparkan cara penghitungan mereka karena pasti akan berbeda Rp.45 miliar untuk 12 bulan dengan Rp 43 miliar untuk 9 bulan,” ujarnya.
Selanjutnya jika pada proses presentasi dalam penganggaran Rp.43 miliar tersebut terdapat keganjilan dan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Komisi IV DPRD Pekanbaru, Komisi IV akan kembali memberikan rekomendasi kepada DLHK.
“Rekomendasi ini apakah diterima atau tidak itu dari hasil pertemuan nanti, tapi jika rekomendasi dari dewan yang diberikan diterima atau tidak oleh DLHK itu kembali lagi ke DLHK. Dan jika rekomendasi itu ditolak dan terjadi masalah artinya kita sudah menyampaikan,” pungkasnya.
Sementara itu warga Kota Pekanbaru, Samuel Hilip menilai ada yang aneh terkait penganggaran pengangkutan sampah di Kota Pekanbaru.
“Awalnya khan Rp45 miliar untuk 12 bulan. Tapi kemudian diajukan hanya untuk 9 bulan. Nilainya semestinya khan tinggal Rp33,75 miliar. Kenapa hanya bisa berkurang menjadi 43 miliar. Aneh hitung-hitungan nya seperti apa. Apa pihak DLHK punya cara perhitungan sendiri yang artinya komponen hak mereka tak bisa dikurangi,” katanya balik bertanya.
Dirinya berharap DLHK bersikap transparan atas nilai akhir atas kontrak kerjasama tersebut.
“Selisih Rp43 miliar ke Rp 33,75 miliar mencapai Rp9,25 miliar. Ini kerja memandai namanya sampai sebesar itu selisihnya. Kalau bisa DLHK disuruh belajar matematika lagi biar tak selalu salah,” tegasnya. (gr)