Potret24.com, Jakarta – Penyebaran virus corona (Covid-19) sudah tidak lagi bisa disebut pandemi, melainkan sindemi. Ini merupakan adalah akronim yang menggabungkan kata sinergi dan pandemi.
Artinya, penyakit seperti Covid-19 tidak berdiri secara sendiri. Sebab diketahui jika penyakit Covid-19 tidak datang begitu saja.
Pasien yang terpapar virus dengan nama resmi SARS-CoV-2 ini bisa memburuk karena adanya serangkaian penyakit yang sudah diidap sebelumnya. Kedua elemen ini tentu berinteraksi dalam konteks ketimpangan sosial yang mendalam.
Tidak heran jika awal 2020, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, mengatakan bahwa dampak pandemi Covid-19 ini dialami secara tidak proporsional pada kelompok masyarakat paling rentan. Ia merujuk orang yang hidup dalam kemiskinan, pekerja miskin, perempuan dan anak-anak, penyandang disabilitas, dan kelompok marjinal lainnya.
Sindemi sendiri bukanlah sebuah istilah baru. Kata ini diciptakan oleh antropolog medis asal Amerika Serikat (AS), Merrill Singer pada tahun 1990-an untuk menjelaskan situasi ketika dua penyakit atau lebih berinteraksi sedemikian rupa. Sehingga menyebabkan kerusakan yang lebih besar ketimbang dampak masing-masing penyakit ini.
“Dampak dari interaksi ini juga difasilitasi oleh kondisi sosial dan lingkungan yang entah bagaimana dapat menyatukan kedua penyakit atau membuat populasi menjadi lebih rentan terhadap dampaknya,” kata Singer kepada BBC International, dikutip Kamis (12/11/2020).
Konsep sindemi muncul ketika Singer dan koleganya meneliti penggunaan narkoba di komunitas berpenghasilan rendah di AS selama lebih dari dua dekade lalu. Mereka menemukan bahwa banyak pengguna narkoba menderita sejumlah penyakit lain, seperti TBC dan penyakit menular seksual.
Para peneliti mempertanyakan bagaimana penyakit-penyakit ini berada di dalam tubuh seseorang. Mereka menyimpulkan bahwa, dalam beberapa kasus, kombinasi penyakit memperkuat dampak dan kerusakan yang dialami orang itu.
“Kami melihat bagaimana Covid-19 berinteraksi dengan berbagai kondisi yang sudah ada sebelumnya – diabetes, kanker, masalah jantung, dan banyak faktor lainnya,” jelas Singer.
“Kami melihat tingkat yang tidak proporsional dari dampak yang merugikan di komunitas miskin, berpenghasilan rendah, dan etnis minoritas.”
Peneliti di Laval University di Kanada, Tiff-Annie Kenny, mengatakan bahwa penyakit seperti diabetes atau obesitas, lebih sering dialami oleh orang-orang yang berpenghasilan rendah. Ini salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko Covid-19.
Kenny bekerja di Arktika, di tengah populasi yang terdampak oleh kerawanan pangan, perubahan iklim, dan pengaturan perumahan yang buruk. Kondisi seperti itu, menurutnya menjadi lebih sulit menjalankan rekomendasi kesehatan seperti mencuci tangan atau menjaga jarak sosial.
“Ada bukti berkembang bahwa influenza dan flu biasa adalah ‘kontra-sindemi’,” kata Kenny.
“Artinya, situasinya tidak menjadi lebih buruk: jika seseorang terinfeksi kedua (virus), salah satu (dari penyakit itu) tidak berkembang.”
Menurut Kenny, dengan menganalisis situasi menggunakan pendekatan sindemi, manusia kini dapat beralih dari pendekatan epidemiologi klasik mengenai risiko penularan kepada pendekatan dengan melihat seseorang dalam konteks sosial mereka.
Cara ini, menurut pandangan banyak ahli, dipercaya untuk memperlambat laju penularan dan dampak dari virus corona. Sebab sangat penting untuk memperhatikan kondisi sosial yang membuat kelompok tertentu lebih rentan terhadap penyakit tersebut. (gr)