Potret24.com, Pekanbaru – Hari ini jagat media sosial di Riau dan Kepri kembali heboh. Pemicunya adalah janji kampanye salah satu kandidat calon gubernur di Kepri yang akan memberikan bantuan untuk siswa SMA kelas 3 senilai Rp1 juta. Tidak sampai di situ saja. Tiba tiba RT/RW ketiban rezeki di siang bolong dengan menjanjikan motor. Total bantuan keduanya diperkirakan Rp200 miliar.
Entah dari mana sumber dananya atau para anggota dewan yang akan mengetok anggaran sudah dikondisikan dari sekarang kitapun tidak tahu. Sungguh suatu kemiskinan ide dan pengaruh sesaat. Sejatinya masih banyak ide dan program nyata di tengah wabah pandemi corona yang belum selesai.
Janji-janji politik seperti sumpah pernikahan. Diucapkan ketika awal hubungan kandidat dan pemilihnya, dan dilupakan dengan cepat
Janji politik, adalah serial harapan baik. Para calon pemimpin memberi harapan kepada khalayak ramai.
Janji politik yang diucapkan berkali-kali memberi kesan sangat kuat bahwa itu janji pasti ditepati nanti. Dan, tukang janji pasti dan wajib ditagih.
Sebab, janji yang diucapkan berulang kali itu akan dicatat berkali-kali pula. Rakyat pun mengambil sikap jelas memberi dukungan politik dengan cara sangat sederhana yaitu memilih si tukang beri janji sebagai pemimpin mereka. Kata mereka itu makna demokrasi.
Pilkada dan dusta ibarat saudara kembar. Tiada Pilkada tanpa dusta, demikian kata pengamat politik J. Kristiadi dalam ulasannya “Meredam Dusta dalam Pilkada” di Harian Kompas, 4 Oktober 2016.
Tentu saja, dia tidak asal bicara. Menjelang Pilkada, muslihat dan dusta politik disulap menjadi kata-kata manis. Dia bagai penyedap rasa dan pemanis masakan.
Tahun ini merupakan tahun pilkada, banyak calon gubernur, wali kota, bupati yang berkampanye dan mengumbar janji-janji supaya masyarakat memilihnya. Lalu apakah bisa kita menggugat janji yang diumbarkan jika dia tidak melaksanakan janjinya ketika terpilih ke ranah hukum?…saya dalam kapasitas tidak bisa menjawabnya.
“Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.’ SQ. Al-Isra’: 34.
Janji biasa mungkir, titian biasa lapuk. Kayaknya pepatah Minang itu yang bisa menjawabnya. (gr)