Potret24.com, Jakarta – Ada kabar pemerintah bakal menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 17% untuk 2021. Banyak pihak yang menyayangkan jika kebijakan tersebut diambil pemerintah di tengah lesunya industri dan daya beli masyarakat akibat pandemi Covid-19.
Keputusan pemerintah untuk menaikkan CHT pada dasarnya dilandasi oleh dua hal. Pertama untuk menurunkan jumlah perokok di Indonesia yang terus meningkat terutama untuk kalangan perempuan dan remaja.
Dalam setahun, konsumsi rokok masyarakat Indonesia mencapai lebih dari 300 miliar batang. Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, jumlah perokok Indonesia ditaksir mencapai 65,19 juta orang atau setara dengan seperempat dari total populasi masyarakat Indonesia.
Persentase perokok anak di Tanah Air pada 2019 mencapai 9,1% pada 2018, naik dari 7,2% pada 2013. Angka perokok remaja untuk usia 15-18 tahun juga meningkat nyaris dua kali lipat dalam dua puluh tahun terakhir dari 12,7% tahun 2001 menjadi 23,1% pada 2016.
Kenaikan CHT juga diperuntukkan guna menaikkan penerimaan negara. Pemerintah memang butuh pendanaan yang berbasis non-utang mengingat rasio utang terhadap PDB RI sudah mencapai 48% tahun ini akibat penerimaan pajak yang lesu dan kebutuhan untuk menyalurkan stimulus jaring pengaman sosial akibat pandemi Covid-19.
Pendapatan negara dari CHT terus meningkat dari 2015 sebesar Rp 140 triliun menjadi Rp 159 triliun tahun lalu.
Berdasarkan laporan APBN Kinerja dan Fakta September 2020, realisasi penerimaan negara dari CHT mencapai 67,6% dari target atau sebesar Rp 111,46 triliun, tumbuh 8,53% (yoy) dari tahun lalu.
Dengan dalih pengendalian jumlah perokok yang terus naik, pemerintah berencana untuk menaikkan CHT. Pada awal Januari lalu pemerintah sejatinya telah meningkatkan CHT sebesar 23% dengan alasan tak ada kenaikan CHT tahun 2019. Kenaikan CHT tersebut berdampak pada kenaikan harga jual eceran rokok mencapai 35%.
Keputusan terkait kenaikan CHT seharusnya diinformasikan hari ini. Namun belum ada pengumuman lebih lanjut terkait hal tersebut. Soal desas-desus kenaikan CHT yang mencapai 17% pun belum mendapat respons dari pihak kementerian keuangan.
Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar Ditjen Bea Cukai Sunaryo ketika dikonfirmasi mengatakan keputusan belum bisa disampaikan. Ia mengatakan masih dalam pembahasan soal tarif cukai tersebut.
Sementara, Kepala BKF Kemenkeu Febrio Kacaribu juga belum membalas pertanyaan yang diajukan CNBC Indonesia.
Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi sebelumnya mengatakan pemerintah belum menentukan kebijakan tarif cukai hasil tembakau untuk tahun 2021.
Kenaikan CHT untuk tahun 2021 yang mencapai dobel digit tentu saja tidak hanya memberatkan industri rokok nasional terutama pabrik rokok kecil yang jumlahnya terus tergerus, tetapi juga masyarakat Indonesia yang sehari-harinya bergantung pada rokok.
Apabila melihat angka penjualan rokok dalam tiga tahun terakhir, kenaikan CHT sampai dobel digit cenderung menekan volume penjualan rokok. Apalagi di tahun ini ketika pandemi Covid-19 merebak.
Kenaikan cukai ditambah dengan daya beli masyarakat yang tergerus membuat volume penjualan rokok mengalami kontraksi 17,5% (yoy) pada kuartal kedua. Volume penjualan mulai membaik di kuartal ketiga seiring dengan pelonggaran pembatasan mobilitas publik (PSBB) dan adanya stimulus dari pemerintah.
Namun volume penjualan rokok masih mengalami kontraksi. Pada kuartal III-2020 volume penjualan rokok menyusut 9,3% (yoy) menjadi 70,2 miliar batang. Pada periode sembilan bulan tahun ini volume penjualan tercatat turun 9,4% (yoy) menjadi 201,7 miliar batang. (gr)