Potret24.com, Jakarta – Founder & Chairman CT Corpora, Chairul Tanjung (CT) mengungkapkan perbedaan krisis yang diakibatkan pandemi COVID-19 dibandingkan krisis pendahulunya, yakni pada 1998 dan 2008.
“Efek daripada penyebaran COVID-19 ini berakibat ekonomi yang lebih parah daripada krisis tahun 1998 dan krisis tahun 2008,” kata CT dalam Talkshow Virtual ‘Menjaga Semangat, Membangun Asa, Indonesia Jaya’, Minggu (26/07/2020).
CT menjelaskan bahwa krisis 1998 disebabkan struktur perbankan dalam negeri rapuh. Itu karena kredit-kredit lebih banyak disalurkan kepada kelompok tertentu, kelompok si pemilik bank saja. Akibatnya, begitu krisis terjadi, bank-bank mengalami kolaps.
“Yang kena mayoritas adalah konglomerat-konglomerat. Sementara masyarakat-masyarakat, khususnya di sektor pertanian, sektor lain sebagainya justru mendapatkan benefit, karena apa? karena rupiah jatuh, harga komoditi itu terpaut dengan kurs luar negeri, kurs asing sehingga harga komoditi pada saat itu naik luar biasa,” lanjutnya.
Sementara krisis 2008, dia menjelaskan Indonesia hanya terkena imbasnya pada satu tahun pertama.
Sebab Indonesia mendapat keuntungan setelah Amerika dan Eropa mengeluarkan kebijakan quantitative easing, yaitu kebijakan pelonggaran moneter bank sentral dengan menambah uang beredar.
“Uang yang digelontorkan, quantitative easing di negara seperti Amerika dan Eropa itu mengalir, mencari imbal hasil yang lebih tinggi, masuk ke emerging countries dan diantaranya masuk ke Indonesia, dan kita mendapatkan efek dorongan yang luar biasa terhadap ekonomi kita,” ujarnya.
Sementara pandemi COVID-19 tak pandang bulu, menghantam semua sektor. Sebab, menurut CT, pandemi ini menyangkut manusia.
“Dari yang besar sampai yang kecil, dan yang lebih parah yang kecil lebih merasakan sakit dibandingkan yang besar. Ya kenapa? orang-orang yang sekarang hidupnya itu susah itu menjadi lebih susah. Kenapa? karena ekonominya turun,” tambah dia. (gr)