Potret Internasional

Upaya Pemerintah Jepang Kendalikan Virus Corona

11
×

Upaya Pemerintah Jepang Kendalikan Virus Corona

Sebarkan artikel ini

Potret24.com, TOKYO – Meskipun dekat dengan Cina, warga Jepang tampaknya belum sadar bahaya dari virus corona yang telah memaksa banyak negara Di Eropa dan Amerika Utara melakukan “lockdown”.

Kekhawatiran wabah virus corona seolah tidak terlintas dalam pikiran banyak orang yang menikmati mekarnya bunga sakura akhir pekan lalu. Ribuan orang duduk di bawah pohon berbunga pink di taman-taman dan di sepanjang jalan, makan siang dan minum bir bersama, dan juga memotret selfie dengan bunga sakura yang mulai kembang.

“Hanami, pertunjukan bunga, adalah acara terpenting setiap tahun bagi kami orang Jepang,” kata seorang karyawan di Taman Ueno di Tokyo.

Jepang sejauh ini memiliki 10 kluster wabah, dengan hampir 1.200 kasus COVID- 19 dan 43 kematian akibat virus corona yang sudah dikonfirmasi tanggal 24 Maret. Hanya beberapa lusin infeksi baru yang dilaporkan setiap hari. Angka infeksi baru ini seharusnya terus bertambah karena kepadatan penduduk di Jepang.

Ditambah lagi, Jepang berhubungan dekat dengan Cina, negara dari mana penyakit itu berasal. Pada bulan Januari, sekitar 925.000 orang dari Cina melakukan perjalanan ke Jepang, sementara 89.000 lainnya melakukan perjalanan pada bulan Februari di saat wabah COVID-19 memuncak di Cina.

Menanggapi pandemi COVID-19, pemerintah Jepang akhirnya memutuskan menutup semua sekolah selama dua minggu, menjelang libur musim semi pada akhir Maret dan membatalkan semua acara publik. Tetapi toko-toko dan restoran masih tetap buka, hanya sedikit karyawan Jepang yang memutuskan untuk bekerja dari rumah.

Menutupi Fakta.
Rendahnya jumlah kasus COVID-19 yang dikonfirmasi oleh pemerintah Jepang, memicu kecurigaan bahwa pemerintah menutupi fakta yang sebenarnya.

“Setelah bencana nuklir Fukushima pada tahun 2011, pemerintah awalnya menolak untuk mengakui bahwa terjadi peleburan inti reaktor,” kata Barbara Holthus, pakar sosiologi di Institusi Jerman untuk Studi Jepang di Tokyo. “Hari ini, masih ada ketidakpercayaan terhadap pernyataan resmi.”

Meskipun memiliki kapasitas untuk melakukan 6.000 tes diagnostik per hari, Jepang hingga saat ini hanya menguji sekitar 14.000 sampel. Jumlah test tersebut 20 kali lebih rendah dari negara tetangga Korea Selatan, yang menglami dampak berat dari pandemi tersebut. “Hanya pasien dengan gejala paling parah yang ditest, kata Masahiro Kami, pakar virologi di Lembaga Penelitian Medis Pemerintah. Ia juga menambahkan, jumlah kasus yang tidak dilaporkan sangat tinggi.

Ilmuwan ilmu politik Koichi Nakano mengatakan, Perdana Menteri Shinzo Abe diduga ingin menampilkan Jepang sebagai negara yang aman, agar tidak kehilangan Olimpiade Musim Panas, meskipun Komite Olimpiade Internasional telah setuju untuk menunda acara tersebut.

Para ahli di Kementerian Kesehatan berulang kali menolak kritik semacam itu, dengan mengatakan bahwa mereka mencari lonjakan kasus COVID-19 untuk mencegah penyebaran virus, daripada melakukan tes secara luas. Ketika wabah itu menyebar di sebuah sekolah dasar di pulau Hokkaido di utara Jepang misalnya, pihak berwenang menutup semua sekolah di Prefektur dan menyatakan keadaan darurat. Setelah tiga minggu, penyebaran virus telah dihentikan.

“Rendahnya jumlah tests dimaksudkan untuk memastikan bahwa sumber daya perawatan kesehatan tetap tersedia untuk kasus infeksi serius”, ujar Sebastian Maslow, seorang ilmuwan politik Jerman di Universitas Tokyo kepada DW.(dtk)