Potret24.com- Kendati sudah dilakukan sidang kode etik Wartawan yang dibuktikan dengan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) oleh Dewan Pers, sengketa pemberitaan antara harianberantas.co.id Bupati Bengkalis, Amril Mukminin, masih memanas.
Orang yang nomor satu di Kabupaten Bengkalis itu, tak terima terhadap pemberitaan harian berantas di portal harianberantas.co.id. Amril kemudian melaporkan hal itu ke Mapolda Riau.
Polda Riau melalui Direktorat Ditreskrimsus selanjutnya menindaklanjuti laporan pelapor (Amril Munkminin*red). Kemudian Polda Riau menyangkakan Pemimpin harian berantas, Toro Laia pelanggaran Undang-undang Informasi Transaksi Eletronik (ITE).
Terkait hal itu, Direktur Media Watch Riau (MWR) El Wahyudi Panggabean angkat bicara.
El Wahyudi mengecam keras sangkaan sengketa pemberitaan antara Wartawan media online Harian Berantas dengan Bupati Bengkalis Amril Mukminin ke ranah undang-undang ITE.
Dia menyatakan, kasus yang disangkakan kepada Toro terkesan dipaksakan. Pasalnya, Dewan Pers telah memutuskan bahwa Toro hanya melanggar Kode Etik Jurnalis (KEJ) saja dan bukan berunsur pidana.
“Saya sudah melihat secara cermat lebih dalam kasus ini. Menurut pengamatan saya, kasus ini dipaksakan ke ranah pidana padahal sudah ada hasil sidang kode etik Wartawan yang dibuktikan dengan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers antara kedua belah pihak, baik pengadu dan teradu yang menyatakan kasus ini tak masuk ranah pidana,” ujarnya dalam jumpa Pers di Senapelan Plaza, Pekanbaru, Selasa (28/08/2018).
Menurutnya, sangkaan pelanggaran UU ITE oleh Polda Riau kepada Toro tidaklah tepat. Polisi seharusnya terlebih dahulu berkoordinasi kepada Dewan Pers soal sengketa berita antara Amril Mukminin vs harian berantas. Kemudian Polisi mempertanyakan rekomendasi Dewan Pers terkait sengketa berita tersebut.
Bahkan celakanya lagi, rekomendasi Dewan Pers kepada pengadu untuk melayangkan hak jawab atas pemberitaan harian berantas, namun tak kunjung dilayangkan.
“Bagaimana caranya membuat Hak Jawab sekaligus Permintaan Maaf kalau Pengadu atau pelapor (Bupati Bengkalis), tidak mengirimkan mengirimkan hak jawabnya sesuai PPR Dewan Pers beberapa waktu lalu. Lalu, tanpa melihat alasan kenapa tidak ada Hak Jawab dan permintaan maaf sudah dimuat, namun Polisi dengan kekuasaannya langsung menyidik dan menjadikan Toro sebagai tersangka pelanggar undang-undang ITE,” cetusnya.
Meskipun Amril Mukminin tak kunjung melayangkan hak jawabnya, namun Toro telah menjalankan rekomendasi Dewan Pers.
“Saudara Toro pelanggar Kode Etik, bukan pelanggar undang-undang ITE. Ia adalah wartawan pertama di Riau yang jadi tersangka sejak undang-undang ITE tahun 2008 diberlakukan,” pungkasnya.
Ditambahkannya, kasus Toro sudah memasuki pemeriksaan saksi-saksi Pelapor di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru. Wahyudi berharap kepada insan Pers untuk mengikuti sidang dan menguak fakta-fakta secara utuh.
Seperti diketahui, Nota Kesepahaman alias Momorandum of Understanding (MoU) antara Dewan Pers dan Polri tahun 2012, yang menyebutkan jika perkara Jurnalistik mendahului penyelesaian di Dewan Pers. Kendati telah bersepakat, namun Polda Riau tidak merekomendasikan pelapor untuk menyelesaikan ke Dewan Pers malah menerima laporan dari pengadu.
Kasus ini bermula ketika Media Pers Harian Berantas memuat berita tentang kasus dugaan perbuatan korupsi Dana Bansos atau Hibah untuk Kabupaten Bengkalis tahun 2012 silam yang telah menyeret mantan Bupati Bengkalis Herliyan Saleh dan sejumlah anggota DPRD Bengkalis jadi terpidana.
Harianberantas memuat pemberitaan seputar kasus itu yang diduga menyatakan Bupati Bengkalis Amril, selaku mantan Anggota DPRD Bengkalis diduga terlibat, namun tak kunjung disidik secara serius oleh Polisi, entah karena Bupati atau karena sesuatu hal.
Karena pemberitaan itu, pada tanggal 07 Januari 2017 Amril Mukminin melaporkan pimpinan Harianberantas, Toro ZL selaku penanggungjawab media tersebut ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau. Tim Subdit II Unit ITE Ditreskrimsus Polda Riau berkonsultasi ke Dewan Pers.
Dewan Pers pun kemudian mengelar sidang atas laporan pengadu (Amril Mukminin*red). Dalam sidang itu, Toro dinilai telah melanggar Kode Etik Jurnalistik.
Dewan Pers pun menurunkan 4 (empat) poin dalam PPR. Pertama, mewajibkan Harianberantas menerbitkan Hak Jawab dari Amril sebanyak 8 kali setelah Hak Jawab diterima dan disertai permohonan maaf.
Kedua, Amri Mukminin selaku pengadu wajib mengajukan Hak Jawab kepada Harianberantas paling lambat 7 hari kerja setelah PPR ini diterima dan mengacu pada Peraturan tentang Pedoman Hak Jawab.
Ketiga, Harian Berantas diwajibkan memenuhi ketentuan yang diatur oleh Peraturan Dewan Pers tentang Standar Perusahaan Pers.
Keempat, Harian Berantas wajib memuat isi seluruh poin PPR tersebut dalam medianya.
“Semua poin sudah kita laksanakan. Terutama poin kedua, ketiga dan keempat. Toro bahkan sudah lulus Uji Kompetensi Wartawan (UKW), sebagai bagian dari pon ketiga. Namun, untuk poin pertama, pihak Pengadu (Amril, red) justru tak pernah mengirimkan Hak Jawab,” ungkap Kuasa Hukum Toro, Jusman.
“Justru Hak Jawab dari Amril yang tak pernah muncul. Amril yang tak patuh, malah pada 2017, kasus Toro dinaikkan ke tingkat penyidikan oleh Kepolisian,” tegas Jusman. (rls) **